Jumat, 14 Januari 2011

Imam Bukhari

A.     Pendahuluan
Hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, pada masa Nabi hadits belum ditulis atau dibukukan secara resmi dan missal. Hadits pada saat itu pada umumnya diajarkan dan diriwayatkan secara lisan dan hafalan, walaupun begitu tidaklah berarti bahwa pada saat itu kegiatan penulisan hadits tidak ada sama sekali. Kalangan sahabat pada saat itu cukup banyak yang menulis hadits secara pribadi, tetapi kegiatan penulisan tersebut selain dimaksudkan untuk kepentingan pribadi, juga belum bersifat massal.  Sejarah penulisan hadis secara resmi dan masal dalam arti sebagai kebijakan pemerintah, barulah terjadi pada masa pemerintahan ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz.
Dalam rentang waktu yang cukup panjang ini, telah banyak terjadi  pemalsuan-pemalsuan hadits yang dilakukan oleh orang-orang dan golongan tertentu dengan berbagai tujuan.[1] Atas kenyataan inilah maka ulama hadits dalam usahanya membukukan hadits Nabi selain harus melakukan perjalanan untuk menghubungi para periwayat yang tersebar di pelbagai daerah yang jauh, juga harus mengadakan penelitian dan penyeleksian terhadap semua hadits yang akan mereka bukukan. Karena itu proses pembukuan hadits secara menyeluruh mengalami waktu yang cukup panjang.
Erat kaitannya dengan persoalan di atas, pembukuan hadits yang banyak dilakukan oleh banyak Ulama sesudah abad pertama hijriyah, dan juga kriteria serta kaidah yang dipergunakan di dalam mengumpulkan dan menyeleksi hadits-hadits yang didapatkan, telah banyak yang dapat mereka hasilkan berupa kitab-kitab hadits yang bermacam-macam jenisnya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Namun dari sekian banyak kitab hadits yang ada, nampaknya yang paling terkenal dan mampu memperoleh derajat kedudukan kualitas paling tinggi adalah Kitab al-Jami’ al-Musnad al-Sahih karya al Imam al-Bukhari.ra.[2]
Hadits karya al-Bukhari adalah kitab yang mula-mula membukukan hadits-hadits shahih. Kebanyakan Ulama hadits telah sepakat menetapkan bahwa karya al-Bukhari itu adalah kitab yang paling shahih sesudah al-Qur’an. Karya sehebat ini tidak mungkin akan hadir begitu saja tanpa kesungguhan yang luar biasa dari Imam al-Bukhari.
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa’I, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab hadits dan Fiqh, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (pemimpin kaum Muslimin dalam hal Hadits). Dalam bidang ini hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Al-Bukhari dididik dalam keluarga Ulama yang ta’at beragama, ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’ dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang bersifat syubhat (ragu-ragu) lebih-lebih terhadap hal yang haram. Ayahnya adalah seorang Ulama bermadzhab Maliki dan merupakan murid dari Imam Malik. Ayahnya wafat ketika beliau masih kecil.
Sosok beliau kurus, tidak tinggi, tidak pendek, kulit agak kecoklatan, ramah, dermawan, dan banyak menyumbangkan hartanya untuk pendidikan. Kebesaran akan keilmuan beliau diakui dan dikagumi sampai ke seantero Islam, banyak ulama ternama yang memberikan sanjungan atas kecerdasan beliau.[3]
Namun ditengah kemasyhurannya, beliau mendapat fitnah dari orang yang dengki kepadanya, dengan mengatakan bahwa Imam Bukhari menganggap Al Qur’an sebagai makhluk. Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan Az Zihli (gurunya) kepadanya. Sehingga Az Zihli berkata: “Barang siapa yang berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah. Ia tidak boleh dijak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa yang masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia.” Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.[4]
Oleh karena itulah, makalah ini akan mengurai beberapa pembahasan mengenai perjalanan panjangnya dalam pengumpulan dan penyeleksian hadits-hadits shahih. Maka petualangan panjangnya inilah yang membuat namanya dan karya-karyanya dikenal diseluruh seantero Islam baik di barat maupun di timur.

B.     Biografi
Imam Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ju’fi Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari jum’at, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh turunan Persia yang beragama Zoroaster. Tapi orang tuanya, Mughirah telah memeluk Islam dibawah asuhan Al Yaman al Ju’fiy.
Ismai’l, ayahnya, adalah seorang alim di bidang hadits, ia belajar dari sejumlah ulama terkenal seperti  Imam Malik ibn Anas, Hammad ibn Zaid, dan al Mubarak. Ketika Bukhari masih kecil ayahnya meninggal, Bukhari memperoleh harta warisan yang tergolong cukup. Tampaknya, spesialisasi ayahnya inilah yang mengilhami Bukhari untuk menekuni hadits.[5]

Masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Disamping menjadi anak yatim beliau juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir beliau kehilangan penglihatan tersebut). Ibunya senantiasa berdo’a dan berusaha untuk kesembuhan beliau. Suatu ketika ibunya bermimpi melihat Nabi Ibrahim berkata kepadanya, “wahai ibu, sesungguhnya Allah telah memulihkan penglihatan putramu karena banyaknya do’a yang kamu panjatkan kepada-Nya”. Alhamdulillah dengan izin dan karunia Allah SWT, menjelang usia sepuluh tahun matanya sembuh total.
Usia kanak-kanak beliau dihabiskan dalam kegiatan menghafal ilmu dan memahaminya sehingga ketika menginjak usia remaja 16 tahun, beliau telah hafal kitab-kitab karya imam-imam ahli hadits dari kalangan tabi’it tabi’in (generasi ketiga umat Islam), seperti karya Abdullah bin Al Mubarak, Waqi’ bin Al Jarrah, dan memahami betul kitab-kitab tersebut.
            Usia kanak-kanak Bukhari telah berlalu dengan agenda belajar yang amat padat. Kesibukannya di masa kanak-kanak dalam menghafal dan memahami ilmu, mengantarkannya kepada masa ramaja yang cemerlang dan menakjubkan, hingga ia menjadi remaja yang amat diperhitungkan  orang-orang di majelis manapun beliau hadir. Dalam usia belasan tahun beliau telah hafal tujuh puluh ribu hadits lengkap dengan sanadnya dan juga Al Qur’an tiga puluh juz.
Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia sepuluh tahun, hingga dalam usia enam belas tahun beliau sudah hafal dan menguasai beberapa buku tulisan ulama seperti al Mubarak (guru ayahnya) dan al Waki. Bukhari tidak hanya mempelajari materi hadits, tetapi ada yang lebih penting, yaitu mengenal betul biografi para periwayat hadits secara detail. Bukhari berguru kepada syekh ad Dakhili, ulama ahli hadits yang termasyhur di Bukhara.
Haus akan ilmu pengetahuan  membuatnya tidak tahan tinggal di kampung halamannya. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, beliau mengunjungi kota suci Mekkah (Hijaz) dalam rangka menunaikan ibadah haji, kemudian beliau tinggal di Madinah untuk beberapa lama. Di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya Qudhya as Shahabah wat Tabi’ien (peristiwa-peristiwa hukum di zaman sahabat dan tabi’ien).
Beberapa negri yang pernah disinggahinya antara lain, Mekkah, Baghdad, Bashrah, Kuffah, Syam, Himsh, ’Asqalan, Mesir, dan lain-lain. Dari pengembaraan ini beliau menulis buku At Tarikh al Kabr. Dari perjalanan panjangnya ini beliau dapat menghafal ratusan hadits ribu hadits, tidak kurang dari seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits tidak shahih dihafalnya beserta sanadnya.

C.     Kekuatan Hafalan Imam Bukhari Dan Kecerdasannya
Bukhari diakui memiliki daya hafal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.[6]
ketika sedang berada di Baghdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja "diputar-balikkan" untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.[7]
            Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.
D.     Guru-Guru dan Tingkatan Mereka
            Ja'far bin Muhammad Al Qaththan berkata, ”Aku telah mendengar Imam Bukhari berkata, ”Aku telah menulis hadits dari 1000 (seribu) guru bahkan lebih banyak lagi yang kesemuanya adalah ulama. Aku tidak memperoleh satu hadits pun kecuali aku telah memiliki sanadnya.” Diriwayatkan Muhammad bin Abi Hatim dari Imam Bukhari, dia berkata,” Aku telah menulis hadits dari 1080 (seribu delapan puluh guru. Mereka adalah ulama ahli hadits yang telah menghafalkan hadits.”
            Dalam kesempatan yang lain Imam Bukhari mejelaskan tentang guru-gurunnya dengan berkata, ”Aku tidak menulis hadits kecuali dari guru yang berkata, ”Iman adalah perkataan dan perbuatan.” Guru-guru Imam Bukhari menurut Al Khafiz teklasifikasi menjadi lima tingkatan, yaitu:
Tingkatan pertama; orang yang menerima hadits dari Tabi'in. Mereka yang termasuk dalam kelas ini antara lain; Muhammad bin Abdillah al Anshari yang memperoleh hadits dari Humaid, Makki bin Abi Ubaid, Ubaidillah bin Musa dari Ismail bin Abi Khalid, Abu Nua'im dari Al A'masy, Khallad bin Yahya dari Isa bin Thuhman, dan Ayyasy dan Ishambin Khalid yang meriwayatkan hadits dari Huraiz bin Utsaman. Secara singkat, guru mereka adalah Tabi'in.
            Tingkatan kedua; orang lain yang sekelompok dengan kelompok pertama, akan tetapi mereka tidak mendengar dari kelompok Tabi'in yang Tsiqah. Orang yang termasuk dalam kelas ini antara lain; Adam bin Abi Iyas, Abu Mashar Abdul A'la bin Mashar, Said bin Abi Maryam, Ayyub bin Sulaiman bin Bilal dan lain-lain.
            Tingkatan ketiga; ini merupakan tinkatan paling tengah di antara sekian guru-guru Imam Al Bukhari. Mereka yang termasuk dalam kelas ini tidak bertemu dengan Tabi'in. Oleh karena itu mereka hanya mendapatkan hadits dari Tabi'in At Tabi'in. Mereka yang termasuk dalam tingkatan ini antara lain; Sulaiman bin Harb, Qutaibah bin Said, Nua'im bin Hammad, Ali bin Al Madini, Yahya bin Ma'in, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Utsman bin Abi Syaibah dan lain-lain. Pada tingkatan ketiga ini Imam Bukhari juga meriwayatkan hadits dari mereka.
            Tingkatan keempat; mereka yang termasuk dalam tinkat ini pada dasarnya sama dengan tingkat ketiga dalam mendapatkan hadits. Letak perbedaannya, tingkat ketiga lebih dulu mendengar dan mendpatkan hadits. Orang yang masuk dalam tingkat ini antara lain; Muhammad bin Yahya Adz Dzahuli, Abu Hatim Al Razi, Muhammad bin Abdurrahim Sha'iqah, Usman bin Abi Syaibah, Abd bin Humaid, Ahmad bin An Nadhr dan ulama sekelasnya.[8]
            Tingkatan kelima; sekelompok orang yang haditsnya hanya dipakai pertimbangan dalam menentukan usia para perawi hadits mupun dalam jalur periwayatan hadits. Imam Bukhari mengambil hadits dari kelompok ini karena adanya manfaat. Mereka yang  termasuk  dalam kelas ini antara lain; Abdullah bin Hammad Al Amali, Abdullah bin Al Ash Al Khawarizmi, Husain bin Muhammad Al Qabbani dan yang sekelasnya. Jumlah hadits yang diriwayatkan dari tinkatan kelima ini sangat sedikit.
            Berdasarkan pemaparan di atas bahwa Imam Bukhari tetap menggunakan lima kelompok ini sebagaimana keterangan yang diungkapkan Utsman bin Abi Syaibah  dari Waqi' bin Al Jarrah, dia berkata, ”tidaklah seseoarang dikatakan berilmu sehingga ia mengambil hadits dari orang yang di atasnya, dari orang yang sekelas dengannya, dan dari orang yang di bawahnya.”[9]

E.     Karya-karya Imam Bukhari
Karyanya yang pertama berjudul "Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab "At-Tarikh" (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata, "Saya menulis buku "At-Tarikh" di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama".
Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami' ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al 'Ilal, Raf'ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du'afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami' as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.[10]
            Dalam sebuah riwayat dikatakan, Imam Bukhari berkata: “ Aku bermimpi melihat Rasulullah Saw, seolah-olah aku berdiri dihadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah Saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al Jami’ As Shahih.”
            Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggung jawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secarapasti keshahihan hadits-hadits yang diriwayatkan.
 Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun kitab Al Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun."
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim  menceritakan : "Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya."[11]

F.      Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditnya. Di antara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kuffah, Baghdad, sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu kota-kota itu, beliau bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadits dalam karya monumentalnya Al Jami’ As Shahih Bukhari.[12]
 Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, "perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu" sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan "Haditsnya diingkari". Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan".
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits."
Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.

G.    Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits
Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami' as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab "Al-Jami 'as-Shahih".
Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. "Saya susun kitab Al-Jami' as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih". Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.
Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits-haditsnya dapat di pertanggung jawabkan.
 Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya.” Saya tidak memuat sebuah hadit pun dalam kitab ini kecuali hadit-hadits shahih” katanya suatu saat.
Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami' as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab. Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib.[13]
 Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu'allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.[14]

H.     Wafatnya
            Muhammad bin Abi Hatim al Warraq berkata, “Aku telah mendengar Ghalib bin Jibril sebagai orang yang disinggahi Imam al-Bukhari di Bakhratank berkata, “Sesungguhnya Imam al-Bukhari telah tinggal di sini. Tetapi, tidak lama kemudian, dia menderita sakit”.
            Ketika utusan dari Samarqand datang dan mengharapkan agar Imam al-Bukhari bersedia keluar bersama mereka, dia pun menyanggupinya. Ketika utusan datang mejemput, maka dia bersiap-siap untuk berangkat ke kendaraan dengan mengenakan sepatu dari kulit dan mengenakan sorban. Baru saja melangkah dua puluh langkah menuju kendaraan, sedangkan aku memegangi bahunya, tiba-tiba dia berkata, ”Tolong tandu aku, aku sudah tidak kuat lagi”.  Akhirnya kami pun mengangkatnya.
            Sebelum Imam al-Bukhari berbaring dengan posisi miring, dia berdo’a terlebih dahulu. Dalam tidurnya itu, badan Imam al-Bukhari banyak mengeluarkan keringat. Dia telah berwasiat kepada kami dengan berkata, “Kalau aku meninggal, beri aku kain kafan tiga lapis tanpa baju dan tanpa sorban.”
Setelah Imam al-Bukhari meninggal, wasiatnya kami laksanakan. Kami lakukan shalat jenazah dan meletakkan jasadnya ke liang lahad. Dari debu kuburnya, tersebarlah aroma harum menyengat seperti minyak misk. Aroma harum debu kubur Imam al-Bukhari tersebut bertahan sampai beberapa hari. Akibatnya, orang-orang berlalu lalang untuk mendapatkan debut tersebut, bahkan orang-orang sampai berebutan untuk mendapatkannya.[15]

I.        Kesimpulan      
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pembahasan di atas adalah pertama, Imam Bukhari adalah seorang ahli hadis kenamaan yang mendapat gelar tertinggi bagi ahli hadis yaitu Amir al-Mu’minun fi al-Hadis dan disepakati sebagai pengarang kitab hadis yang paling sahih. Kedua, setelah dilakukan penelitian terhadap hadis-hadisnya, kriteria hadis sahih menurut Imam Bukhari adalah: dalam hal persambungan sanad ia menekankan adanya informasi positif tentang periwayat bahwa mereka benar-benar bertemu atau minimal satu zaman dan dalam hal sifat atau tingkat keilmuan periwayat ia menekankan adanya kriteria paling tinggi. Ketiga, dalam menyusun kitabnya ia memakai sistimatika kitab sahihh dan sunan yaitu dengan memakai istilah Kitab dan Bab. Keempat, secara umum kitab hadis karya Imam Bukhari adalah kitab hadis yang paling sahih di antara kitab-kitab hadis yang ada sekarang ini, namun demikian tidak menutup kemungkinan adanya kritik terhadapnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Syahbah, Muhammad,  Al Kutub As Shahih Al Sittah, Majma’ al Buhuts al Islamiyah, Kairo:   
             Dar al Fikr, 1969.
Al-Gazali, Muhammad. Studi Kritis Atas Hadis. Terj. al-Baqir. Bandung: Mizan, 1989.
Al Qasthalani, Irsyad Al Sari Li Syarh al Bukhari, Kairo: Dar Al Fikr, 1969.
Azami, Muhammad Mustafa, Hadits Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya,  Terj: Prof. A. J.               Arberry, (Pjaten Barat:   Pustaka Firdaus, 2006.
Azami, Muhammad Mustafa. Metodologi Kritik Hadis. Terj. A. Yamin. Jakarta: Pustaka                 Hidayah, 1992.
Farid, Syaikh Ahmad, 60 Biografi Ulama Salaf, Terj: Masturi Irham, Lc. & Asmu’I Taman, Lc. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2009.
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.
Zuhri, Muhammad, Hadis Nabi Telaah Historis Dan Metodologis, Yogya: PT Tiara Wacana             Yogya, 2003.
Zuhri, Muhammad, Telaah Matan Hadits Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), 2003.



[1] Di ungkapkan juga oleh Prof. Dr. Muh Zuhri bahwa para orientalis juga ikut nimbrung mencermati seluk beluk hadits  yang menyebabkan problem tentang otentisitas materi hadits semakin bertambah, menurut hasil penellitian mereka, hadits-hadits yang didokumentasikan dalam kitab –kitab hadits itu sebenarnya tidak otentik berasal dari Nabi. Lihat: Muhammad Zuhri, Telaah Matan Hadis Sebuah tawaran Metodologis, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI), 2003), hlm. 04.
[2] Buku ini disebut Al jami’ karena menghimpun berbagai tema seperti  Hukum, Fadhilah, Berita Umat terdahulu, Adab, dl. Dan dinamakan Shahih karena kitab ini dijamin oleh Bukhari terhindar dari kemasukan hadis-hadis yang  tidak sahih. Muhammad Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis Dan Metodologis, (Yogya: PT Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 166. Lihat  juga: Muhammad Abu Syahbah, Al Kutub As Shahih Al Sittah, Majma’ al Buhuts al Islamiyah, (Kairo: Dar al Fikr, 1969), hlm. 58. Lihat lagi: Al Qasthalani, Irsyad Al Sari Li Syarh al Bukhari, (Kairo: Dar Al Fikr, 1969), hlm. 21.
[3]Qutaibah bin Said berkata , “ Aku pernah duduk bersama ahli Fikh, orang-orang zuhud dan hamba yang ahli ibadah. Akan tetapi semenjak aku berakal, maka aku belum pernah melihat orang seperti Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari ) pada masanya, dia seperti Umar di masa sahabat. Maksudku adalah dalam hal kecerdasan, pengetahuan dan keberaniannya dalam memperlihatkan kebenaran.” Lihat: Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi ulama salaf, diterjemahkan oleh: Masturi Irham, Lc. & Asmu’I Taman, Lc.(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2009), hlm. 494.
[4] IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm, 180-181.
[5] Muhammad Zuhri, loc.cit.
[6] Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi ulama salaf, diterjemahkan oleh: Masturi Irham, Lc. & Asmu’I Taman, Lc.(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2009), hlm. 483.
[7]Ibid.       
[8] Imam Bukhari hanya meriwayatkan hadits dari kelompok keempat ini apabila beliau tidak mendapatkan hadits dari guru-gurunya yang berada di tingkat atasnya. Lihat: Syaikh Akhmad Farid, op.cit., hlm. 476.
[9] Syaikh Ahmad Farid, op.cit.,hlm, 474-475.
[10] Kitab itu dinamakan juga Al Jami’ Al Musnad Al Shahih Al Mukhtashar  Min Umur Raulullah SAW Wa Sunanihi Wa Ayyamihi. Lihat: M.M Azami, Hadits Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya,  Terj: Prof. A. J. Arberry, (Pjaten Barat: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 648. Lihat juga. Muhammad Zuhri, op.cit., hlm. 167.
[11] Ibid., hlm. 375-376.
[12] Muhammad Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis Dan Metodologis, (Yogya: PT Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 169.
[13] Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi ulama salaf, diterjemahkan oleh: Masturi Irham, Lc. & Asmu’I Taman, Lc.(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2009), hlm. 487. 
[15]Sebuah  keterangan tambahan dari Adz Dzahabi bahwa mengambil debu kubur untuk bertabarruk hukumnya tidak boleh. Tidak boleh bertabarruk selain kepada Rasulullah Saw. Lihat: Syaikh Ahmad Farid, op.cit.,hlm.509.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar