Senin, 21 Mei 2012

Filsafat Dakwah


A.  PENDAHULUAN

Modernitas sebagai sebuah bagian dari proses perubahan sosial diyakini oleh sejumlah cendekiawan muslim menjadi sebuah keharusan dan bahkan pandangan hidup akan perubahan yang pasti terjadi dalam sebuah komunitas masyarakat. Tidak terkecuali di komunitas masyarakat muslim Seperti yang ditunjukkan oleh Lapidus (2000) dalam bukunya Sejarah Sosial Umat Islam modernisme menjadi sebuah keharusan dari doktrin yang utamanya menekankan bahwasanya kekalahan Muslim di tangan kekuasaan Eropa menyadarkan kelemahan mereka, dan bahwasanya pemulihan kekuasaan politik menuntut mereka meminjam teknik-teknik militer Eropa, memusatkan kekuasaan negara, memodernisir perekonomian mereka berdasarkan cara Eropa menjalankan ekonominya yang berbasis pasar bebas dan menyelenggarakan pendidikan modern bagi kalangan mereka.
Proses Modernisasi dan penanaman benih-benih sekularisme dalam wajah pembangunan dan globalisasi terus dilanjutkan di penjuru dunia muslim. Selepas kemerdekaan masing-masing negara berpopulasi muslim, agennya bukan lagi penjajah kolonial Inggris, Belanda atau Perancis. Tetapi para orientalis yang mendapat gelar “modernis“ atau “reformis” sebutlah nama-nama seperti Fatima Mernisi, Abed Al Jabiri, Hasan Hanafi, Mansour Fakih, Qasim Amin, Taha Al Husayn, Ahmad Wahib hingga Zuhairi Misrawi, namun searah mendengung-dengungkan modernisme yang lekat dengan sekularisasi sebagai wujud dari apa yang disebut oleh mereka sebagai Islam Progressif atau Islam yang berkemajuan. Seolah-olah Islam adalah agama primitif yang tumbuh dari racikan tangan manusia dan proses yang tidak pernah lepas dari pengaruh manusia sehingga merasa perlu “memajukan“ Islam sesuai agenda Barat sejalan dengan proses demokratisasi secara sempurna.
Namun persoalannya, yang kemudian menjadi faktor utama penghambat laju modernisme sebagaimana yang sedang didengung-dengungkan ternyata bukan dari faktor eksternal yang mereka sebut sebagai “Islam Fundamentalis” atau “Islam Revivalis“ namun dari kalangan internal mereka sendiri dalam hal epistemologi akan definisi modernisasi sebagai produk dari modernisme itu sendiri yang perlu diuji hipotesisnya. Apakah dengan menjadi modern sudah pasti mencapai kemajuan dalam pelbagai bidang pendidikan, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Apakah dengan menjadi modern  akan mencapai taraf hidup manusia yang lebih beradab atau malah sebaliknya.
Dalam pandangan Barat, dunia modern adalah puncak perubahan peradaban manusia. Bahkan berkat kemajuannya diberbagai bidang, modernitas dianggap sebagai puncak perkembangan masyarakat manapun, atau sering dikenal dengan sebutan “Grand Process of Modernization”. Perubahan masyarakat sebagai kesatuan hidup manusia yang semakin modern, ditandai oleh sikap hidup warga masyarakat yang semakin rasional.  Secara umum, telah disepakati bahwa era modern ini ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek).
Sementara, Islam memandang kemajuan adalah sebuah perubahan yang sesuai dengan tujuan dakwahnya. Dr. A. Ilyas Ismail, MA mengutip dari berbagai pandangan Ulama Islam dan analis Barat, mengatakan: bahwa inti dari dakwah adalah perbaikan (islah), yang berarti the improvment and development of society.[1] Oleh sebab itu, negara-negara muslim menyambut dengan baik datangnya ideologi modern. Karena dalam sejarah Islam, Rasul SAW adalah seorang yang mampu menciptakan perubahan peradaban jahiliyah menuju peradaban Islam modern. Beliau bersama sahabat-sahabatnya dapat mengubah demoralisasi ekonomi, sosial, politik dan budaya pada masa itu.
Namun, modernisasi saat ini sudah banyak di salah artikan. Kemajuan iptek yang menjadi ciri utama modernisasi hanya menjadi sarana untuk mendapatkan kepuasan duniawi. Kini agama berada di pojok gerbang abad modernitas yang ditandai dengan sangat intensnya perubahan yang melanda ranah kehidupan sosial lantaran dipicu temuan-temuan baru di bidang teknologi dan industri.[2]
Untuk itu dalam makalah ini, akan dibahas mengenai Dakwah dan Problema Modernitas yang akan difokuskan kepada sikap dalam menghadapi tantangan modernitas, yang diharapkan mampu memberikan pemahaman dan memberi gambaran tentang solusi menghadapi problema modernitas. Oleh karenanya dalam makalah ini akan diurai mengenai pendalaman istilah dan problem modernitas, solusi ulama moderat dan konvensional, dan Da’i moderat-reformis dalam Islam.

B.  PENDALAMAN ISTILAH DAN PROBLEM MODERNITAS
Modern adalah istilah yang berasal dari kata latin moderna yang artinya ‘sekarang’, ‘baru’ atau ‘saat ini’. Jika kita merujuk pada makna asli modern, maka dapat dikatakan bahwa manusia selalu hidup di zaman modern. Oleh karena itu, kalau dilihat dari segi waktu, sejarawan sepakat bahwa sekitar tahun 1500 adalah kelahiran zaman modern di Eropa.[3]
Untuk mengenal istilah modern secara utuh alangkah baiknya kita mengingat perbandingan katanya, yaitu tradisional. Manusia di era modern ini setidaknya terkotak menjadi dua bentuk, yaitu masyarakat yang hidup dengan iptek dan ada sebagian besar yang gatek (gagap teknologi), artinya, hanya numpang hidup bersamaan dengan era modern. Bagian kedua inilah yang sebenarnya dikatakan sebagai kelompok tradisional.
Para aktifis dakwah kampus dan pemuda, misalnya, menganggap keterlambatan Islam dalam mengantisipasi perubahan dikarenakan Para Dai-nya masih banyak yang gatek. Dakwah mereka masih harus terjun ke panggung-panggung pengajian, dari kampung ke-kampung, dari masjid RT ke-RT yang lain. Sehingga dengan perkembangan penduduk dan umat yang semakin meningkat dengan cepat, waktu mereka tidak cukup untuk menjangkau seluruh umat. Bahkan Dai-nya sendiri yang terkadang sangat lamban dan kurang paham adanya bentuk-bentuk transformasi ekonomi, sosial, politik dan budaya yang begitu cepat di tengah masyarakat.
Di sisi lain, mereka yang tahu dan bersahabat dengan iptek pun, belum banyak memanfaatkan media sebagai sarana dakwahnya. Sebagaimana kita saksikan tiap hari di televisi maupun acara di radio, program yang bernuansa pendidikan Islam masih sangat jauh dari kebutuhan. Hampir semua acara didominasi oleh kepentingan kaum pemodal (kapitalis), dengan hanya mengeksploitasi sedikit sensasi, mereka hendak mengeruk keuntungan sebesar-besarnnya.
Meskipun demikian, apapun yang terjadi, Islam sebagai agama paripurna (kaffah) harus memiliki solusinya. Islam menegaskan bahwa diciptakannya manusia tidak lain hanyalah untuk mengabdi, pengabdian kepada Allah dan pengabdian bakti atas sesamanya serta menjaga bumi yang diamanahkan-Nya. Melihat keyakinan ini, setidaknya penulis melihat ada dua bentuk penyelesaian yang tengah di jalankan oleh Ulama Islam, yaitu dengan ala tradisional dan modernitas.
Untuk menggunakan pembedaan istilah tradisionalis dan modernis dalam kacamata teologis (Islam) sangatlah tidak mudah. Karena ketika kita salah sedikit dalam penempatannya bisa jadi apa yang diklaim sebagai kelompok tertentu justru akan menimbulkan ketegangan di intern Islam sendiri. Seperti yang telah nampak oleh mata ketegangan pemikiran antara kelompok konservatif dan kelompok moderat tidak jarang menjadi ketegangan fisik. Oleh sebab itu, apa yang akan penulis diskripsikan sebagai kelompok konvensional sebagai perwakilan muslim tradisionil atau sebagai kelompok moderat yang mewakili kelompok modern, janganlah dianggap bahwa memang kondisi pemahaman orang tersebut secara utuh demikian. Karena mereka sekarang ini masih sedang sama-sama mencari format yang dianggap paling tepat untuk kemajuan Islam.
Dengan demikian, untuk memahami pemikiran mereka harus dilihat obyek mad’unya terlebih dahulu. Sebab dalam teori dakwah semua mad’u tidak dapat disama ratakan, harus dilihat kondisi usia, budaya dan tradisi masyarakatnya.[4] Kedua, pemahaman tentang modern ini harus dibedakan secara ideologis dan teologis. Oleh sebab itu, semua pemahaman harus dikembalikan pada pemahaman tentang ideologi modern, yaitu; iptek sebagai keperluan dakwah Islamiyah.

C.  SOLUSI ULAMA KONVENSIONAL DAN MODERAT
a.    Solusi Ulama Konvensional
Dalam menghadapi tantangannya, Ulama Konvensional lebih senang menggunakan istilah salaf al-sholeh. Mereka mengharamkan segala bentuk yang datang dari Barat. Meskipun dalam konsistensinya masih perlu dipertanyakan. Sebagaimana kita ketahui, dengan pesatnya kemajuan media cetak maupun elektronik, masih ada dari ulama-ulama kita yang mengharamkan melihat tayangan televesi. Namun hanya sebagian kecil saja golongan yang sependapat dengan ulama ini, kelompok-kelompok macam ini, mereka konsisten tidak mau melihat tayangan televisi.
Di antaranya adalah kelompok Aisyiah dan Muhammadiyah yang mengitruksikan pelarangan melihat siaran televisi dengan ungkapan “Matikan TV mu”.[5] Meskipun, kelompok ini dalam konsistensinya masih perlu dipertanyakan. Kelompok ini menganggap televisi adalah agen pembusukan moral dan aqidah generasi Islam. Sebab apapun yang ditayangkan televisi, mayoritas adalah reduksi moral, cenderung membebaskan, dan berita-berita yang disajikannya pun tidak dapat dinafikan ada politisasi. Kita tidak dapat mengelak kalau yang disajikan oleh televisi-televisi nyaris tidak ada muatan pendidikannya. Apa yang dikatakan oleh kelompok Aisyiah dan Muhammadiyah adalah benar, bahwa televisi selama ini adalah agen pembusukan moralitas. Oleh karena itu, kelompok ini sanggup meneguhkan keimanannya dengan tanpa melihat acara-acara tayangan televisi.
Kelompok ini memiliki pandangan bahwa jika hal ini dapat direalisasikan oleh seluruh umat Islam, niscaya kemrosotan moral pemuda Bangsa dan Agama tidak secepat keadaannya. Mereka lebih senang shoping, jalan-jalan, berhura-hura, pacaran dan lain sebagainya. Semua ini tidak dapat dielakkan bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah pengaruh media TV. Karena apa yang disajikan oleh tayangan televisi, baik sinetron maupun yang lain lebih didominasi sifat yang gelamoris.
Benar, kalau di sinetron ada tayangan anak kampus maupun anak SMU yang tengah duduk dibangku sekolah, akan tetapi yang mencolok dalam skenario filmnya hanya pacaran yang lebih ditonjolkan. Belum pernah kita temukan film yang intens dalam kampus maupun sekolahan memperdebatkan soal matematika, sosiolgi, biologi, sejarah, filsafat dan lain sebagainya. Maka, mengharamkan melihat tayangan televisi adalah salah satu jawaban yang tepat untuk membentengi moral generasi agama dan bangsa.[6] 
b. Solusi Ulama Moderat
Menurut kelompok ini, perubahan adalah sunnatullah yang akan terus berjalan. Perubahan dan kemajuan tidak akan dapat dihentikan hanya karena mengharamkannya. Padahal, belum tentu apa yang diharamkan itu pada hakekatnya adalah diharamkan oleh Allah. Kita harus terbuka dengan realitas kehidupan, tapi, bukan berarti menerima mentah-mentah apa yang telah kita ketahui. Di sinilah pentingnya mendialogkan antara realitas dan ajaran agama. Tidak sebagaimana pandangan ekstrimis bahwa pesan agama itu bukan untuk didialogkan, tapi diimplementasikan sehingga pandangan keagamaan semacam ini seringkali menemui kegagalan. Padahal, turunnya al-Quran yang berangsur-angsur itu sendiri menandakan ada proses dialog dengan tradisi setempat.
Namun, kita harus mengakui bahwa sebagaian kelompok ini ada yang cenderung melebih-lebihkan dengan keberhasilan Barat. Pencapaian Barat dalam bidang teknologi dan produksi dianggap sukses dalam segal-galanya. Sehingga hal ini mengakibatkan munculnya sifat fanatik buta. Tak pelak jika semua yang mereka dapatkan dari Barat lantas diterjemahkan sebagai apa adanya. Budaya Barat yang telah tercerabut dari akar teologisnya pun dibawa mentah-mentah ke negeri-negeri Muslim. Misalnya, isu tentang persamaan gender dan Hak Azazi Manusia (HAM) yang seolah menjadi isu aktual yang tidak pernah dibicarakan dalam Islam. Mungkin jargonnya berbeda, akan tetapi isu-isu tersebut pada esensinya adalah isu yang telah dibahas oleh Islam sejak kelahirannya.
Dengan demikian, dakwah Islam dalam menyikapi sebuah perubahan modernisasi harus mengacu sepenuhnya pada norma-norma yang telah digariskan oleh pembawa Risalahnya. Di antaranya; (1) Islam menerima adanya peningkatan dan perubahan hidup yang lebih baik, (2) Islam mempunyai nilai dan norma sendiri dalam memandang sebuah prilaku (moral) dan budaya manusianya, (3) Islam mengajak umatnya untuk menuju kehidupan yang paling sempurna, yaitu mencapai ridha-Nya. (4) Pandangan Islam tentang dunia hanya tempat sarana, tempat menanam kebaikan, mengabdi kepada Allah dan berbudi pada sesama.

D.  DA’I MODERAT-REFORMIS DALAM ISLAM.
Moderat dalam pandangan Islam dibedakan dengan fanatik buta. Pada umumnya, pemahaman tentang Islam moderat adalah keislaman yang dapat menjadi penengah (Ummatan Wasathan), dan sebaik-baiknya perkara adalah diambil jalan tengahnya (khaira al-umur ausathuha). Begitu juga dalam menyikapi sebuah perubahan yang dalam satu sisi tidak dapat dielakkan. Sebab kehidupan manusia tidak sebagaimana kehidupan hewan, statis sejak keberadaannya.
Untuk membedakan dengan istilah moderat yang sering berlebihan, saya memilih untuk menggabungkan dua kata untuk penyebutannya, yaitu: ‘moderat-reformis’ (MR). Seorang Da’i MR yang mau mengambil jalan tengah harus bisa membedakan produk primer dan sekunder dalam Islam. Produk primer adalah esensi yang harus disampaikan oleh da’i kepada komunikan (mad’u) nya. Sedangkan produk sekunder adalah sarana atau mediasi untuk mencapai tujuan dakwahnya.
Alamah Thaba’ Thaba’i mengatakan bahwa manusia pada hakekatnya senantiasa ingin sampai pada tujuannya dengan perantaraan jalan yang lebih dekat dan mudah. Sedangkan manusia di berbagai tempat, kebutuhan akan alat dan sarana berubah-ubah sejalan dengan temuan-temuan barunya.[7] Tempo dulu, orang ceramah tidak menggunakan pengeras suara, sehingga pembicaraannya hanya dapat didengar oleh segerombolan jama’ah saja. Tapi, dengan penemuan alat pengeras suara, penceramah menjadi relatif irit suaranya, meskipun menghadapi berjuta umat yang berkumpul dilapangan.
Konon, pertamakali ditemukannya pengeras suara, banyak ulama yang menolak untuk menggunakannya karena dianggap gaung suaranya yang besar itu suara setan. Sebab, tidak jarang pengeras suara itu juga dimanfaatkan oleh group panggung hiburan, yang gaungnya suaranya mirip suara orang kesurupan. Padahal, seorang yang menemukan pengeras suara tidak ada motif apakah penemuannya itu nanti akan digunakan jama’ah wirid dan tahlilan atau digunakan pedangdut dengan jaipongannya.
Dengan demikian, apakah dengan penemuan kemajuan (penegeras suara) merupakan dosa? Begitu halnya dengan keberadaan media, baik cetak maupun elektronik. Kita tidak dapat semerta-merta menimpakan dosa pada penemunya. Jika anggapan ini terjadi, menurut Thaba’ Thabai, adalah kebodohan manusia yang tidak dapat memahaminya dengan baik.
Oleh karena itu, di era modern yang ditandai dengan kemajuan iptek, seorang da’i lebih baik menempatkan dirinya pada posisi Da’i MR. Mengupayakan menggali dan membawa khazanah (produk primer) Islam, serta mampu menciptakan produk sekunder sebagai sarana penyampaian dakwah yang lebih efektif.

DAFTAR PUSTAKA
 
Al-Khu’i, Abul Qasim, Menuju Islam Rasional, Sebuah Pilihan Memahami Islam, Jakarta: PT. Hawra, 2003.

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: PT Gramedia Pusataka Utama, 2004.

Ismail, A. Ilyas, Paradigma Dakwah Sayyid Qutb, Jakarta: Penamadani, 2006.

Mutahhari, Murtadha, Islam dan Tantangan Zaman, Bandung, Pustaka Hidayah, 1996.
Natsir, Mohammad, Fiqhud Da’wah Jejak Risalah dan Dasar-Dasar Da’wah, Jakarta: Media Da’wah, 1420/2000.

Suryapati, Akhlis (Pengamat Film dan Pengamat Budaya) dalam Makalah Diskusi Pro Kontra Film Sebagai Misi Pencerdasan, 4 Desember 2010, di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat.



[1]A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qutb, (Jakarta: Penamadani, 2006), hal. 8-9.
[2]Abul Qasim al-Khu’i, Menuju Islam Rasional, Sebuah Pilihan Memahami Islam, (Jakarta: PT. Hawra, 2003), hal. ix.
[3] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: PT Gramedia Pusataka Utama, 2004),  hal. 2-3.
[4] Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah Jejak Risalah dan Dasar-Dasar Da’wah, (Jakarta: Media Da’wah, 1420/2000), hal. 164.
[5] Media Ma’arif, Vol.2 No.6, Desember 2007, hal, 4.
[6] Disampaikan juga oleh Akhlis Suryapati (Pengamat Film dan Pengamat Budaya) dalam Makalah Diskusi Pro Kontra Film Sebagai Misi Pencerdasan, 4  Desember 2010, di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat. “iklim perdagangan film di Indonesia sedang menempatkan film-film gam­pangan berbiaya murah dengan tema seks dan mistis sebagai produk yang bisa ‘dijual’ serta dianggap memenuhi standar break event point rasio, maka jenis film semacam itulah yang dibuat dan dipasarkan oleh pelaku industri film dan didukung oleh pemerintah. Dari sekitar 70 judul film Indonesia tahun ini, sekitar dua pertiganya merupakan film ‘pasaran’, bertema seks, mistik, horor, atau yang kata para kritikus dan budayawan ‘tidak mendidik’ dan ‘tidak mencerdaskan”


[7] Murtadha Mutahhari, Islam dan Tantangan Zaman, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1996), , hal, 137.

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus