A.
PENDAHULUAN
Tema yang akan didiskusikan adalah “Hubungan Antar Agama Sebagai Komunikasi Antar Budaya”, supaya pembahasan ini tidak menyimpang maka penulis akan membahas dari perspektif Islam. Agama secara leksikal memiliki makna yang beragam. Seperti pembalasan (ganjaran), ketaatan, penilaian, dan lain-lain. Dari beragam makna agama, sebagaimana yang terdapat pada kamus-kamus dan tafsir ayat-ayat al-Qur'an terkait makna agama, umumnya agama bermakna ketaatan dan ganjaran, dan terkadang bermakna pinjaman, hitungan dan hukum.
Agama bermakna ketaatan dapat
dijumpai pada ayat misalnya "laa ikraha fi al-din" (tiada
paksaaan dalam beragama) (Qs. Baqarah [2]:256). Agama bermakna pembalasan dapat
disaksikan pada ayat "malik yaum al-din" (penguasa pada hari
pembalasan." (Qs. Al-Fatihah [1]:4). Secara teknikal agama menurut Raghib al
Isfahani diadopsi dari syari’at. Dan sesuai dengan ungkapan Fadhil Miqdad agama
adalah thariqat dan syariat; artinya jalan dan aturan. Kontrak-kontrak
Ilahi ini menyeru kepada para pemeluknya untuk menjalankan aturan-aturan dan
hukum-hukum yang telah disampaikan kepada Rasulullah Saw dan berada di sisinya.
Demikianlah makna umum agama yaitu seluruh aturan Ilahi dan samawi yang
disampaikan kepada masyarakat melalui para Nabi dan Rasul.
Kebudayaan merupakan salah satu
pahaman yang paling menyeluruh dan universal dalam ilmu-ilmu Sosial dimana
terdapat ragam definisi yang diberikan tentangnya. Secara leksikal kebudayaan (culture)
bermakna adab, ilmu, pengetahuan dan makrifat. Dalam terminologi ilmu-ilmu
Sosial disebutkan bahwa kebudayaan artinya ilmu dan adab, tradisi dan
kebiasaan, hal-hal yang diterima di setiap kaum dan bangsa, baik itu ilmu,
kebiasaan, adab dan tradisi – yang diterima dan diamalkan oleh masing-masing
anggota komunitas kaum tersebut. Dengan kata lain, kebudayaan adalah sekumpulan
ilmu, pengetahuan, seni, pemikiran dan keyakinan, moral, aturan, adab dan
kebiasaan.
Terkait pembahasan utama kita di
sini tentang hubungan antar Agama sebagai komunikasi antar Budaya, apakah
terjalin hubungan antara agama dan kebudayaan? Apabila terjalin hubungan eksistensial
di antara keduanya, Apakah agama dan kebudayaan itu merupakan hal yang satu
atau agama merupakan bagian dari kebudayaan setiap kaum dan bangsa ?. Atau
agama itu sendiri adalah pencetak kebudayaan ?, dengan
memperhatikan pelbagai definisi yang dibeberkan terkait dengan kebudayaan,
masalah ini merupakan masalah yang dibahas tak henti-hentinya dan terdapat
perbedaan pendapat di dalamnya.
Hubungan yang terjadi di antara
berbagai suku bangsa tersebut tentu saja melalui suatu proses komunikasi. Jika
proses komunikasi ditinjau dari segi komunikasi antarbudaya, maka bukanlah
semata-mata terjadi proses tukar menukar barang seperti di pasar, tetapi
terjadi suatu proses tukar menukar segi kebudayaan. Hal itu meliputi bahasa,
Agama, sistem ilmu pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem
organisasi, sosial, dan kesenian. Menurut Gerhard Malatzke komunikasi
antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang
berbeda budaya.
Komunikasi antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh antropolog Edward
Hall. Bidang ini sebenarnya bukan fenomena baru, komunikasi antarbudaya sudah
ada sejak pertama kali orang-orang berbeda budaya saling bertemu dan
berinteraksi. Jika komunikasi antar budaya ternyata meliputi Agama, apakah
hubungan antar Agama juga menjadi wadah komunikasi antar budaya? Tentu hal ini
perlu pembahasan yang lebih mendalam. Oleh karenanya dalam makalah ”Hubungan
Antar Agama Sebagai Komunikasi Antar Budaya” ini, akan dibahas (1) hakikat
agama; (2) agama sebagai kelompok etnik; (3) hubungan antaragama; (4) beberapa
masalah dan pemecahan hubungan antaragama, (5) masa depan agama.
B.
HAKIKAT AGAMA
Muhammad Natsir, dalam sebuah bukunya Islam dan Kristen di Indonesia mengatakan:
Disamping itu telah diakui pula oleh sarjana bahwa agama
adalah hal yang disebut sebagai “problem of ultimare concern”, suatu
problem yang mengenai kepentingan mutlak, yang berarti jika seseorang
membicarakan soal agamanya, maka ia tak dapat tawar menawar, apabila berganti;
agama bukan sebagai rumah atau pakaian yang kalau perlu diganti, akan tetapi
sekali kita memeluk keyakinan, tak dapatlah keyakinan itu pisah dari seseorang.[1]
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh M Natsir, Abudin Nata, dalam
bukunya Metodologi Studi Islam mengutip pendapat Mukti Ali mengatakan
bahwa barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan
definisi selain dari kata agama. Pernyataan ini didasarkan pada tiga alasan. Pertama,
bahwa pengalamana agama adalah soal bathini, subyektif, dan sangat individualis
sifatnya. Kedua, barangkali tidak ada orang yang begitu semangat dan
emosional daripada orang yang membicarakan agama. Karena itu, setiap pembahasan
tentang arti agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata agama sulit
didefinisikan. Ketiga, konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan
definisi tersebut.[2]
Secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari berbagai sudut
kebahasaan dan sudut istilah. Mengartikan agama dari sudut kebahasaan akan
terasa lebih mudah daripada mengartikan agama dari sudut istilah karena
pengertian agama dari sudut istilah sudah mengandung muatan subyektifitas dari
orang yang mengartikannya. Sehingga tidaklah mengherankan jika muncul beberapa
ahli yang tidak tertarik untuk mendefinisikan agama. Sampai sekarang pun
perdebatan tentang definisi agama masih belum selesai. Hingga sebagian ahli
sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mendefinisikan
arti agama, karena pengalaman agama adalah subyektif, intern, dan individual,
di mana setiap orang akan mengalami pengalaman yang berbeda dari orang lain.
Seringkali kita membaca dan mendengar pendapat para ahli yang mencoba
mencari dan menerangkan arti agama baik dari segi etimologi maupun terminology.
Salah satu pendapat yang populer bahwa agama berasal dari dua kata: a =
tidak dan gama = kacau. Menurut
Endang Saifuddin Anshari, dugaan yang kuat bahwa teori ini berasal dari
Fachroeddin Al Kahiri.[3] Hal ini
dikemukakan oleh Fachroeddin pada bulan September 1937, dalam sebuah pidato
radio di muka corong V.O.R.L (radio di Bandung) dengan judul “Islam Menoeroet
Faham Filosofie”.[4] Teori
ini kemudian seringkali dikutip dalam berbagai ceramah dan tulisan-tulisan.
Padahal kita ketahui bahwa Islam yang dianggap sebagai nama sebuah agama, tidak
hanya membentuk sebuah keteraturan kehidupan akan tetapi Islam merupakan rahmatan
lil ‘alamin bagi alam semesta ini.
Sutan Mohammad Zain dalam Kamus Bahasa Indonesia menerangkan arti
“agama” dari sudut terminologi bahwa segenap kepercayaan kepada Tuhan serta
kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.[5]
Sementara itu, dalam Ensiklopedia Indonesia kita akan mendapkan uraian
tentang agama sebagai berikut:
Agama (umum), manusia mengakui dalam agama adanya Yang
Suci; manusia itu insaf, bahwa ada suatu kekuasaan yang memungkinkan dan
melebihi segala yang ada. Kekuasaan inilah yang dianggap sebagai asal atau
Khaliq segala yang ada. Tentang kekuasaan ini bermacam-macam bayangan yang terdapat pada manusia, demikian pula
cara membayangkannya. Demikianlah Tuhan dianggap oleh manusia sebagai tenaga
ghaib di seluruh dunia dan dalam unsur-unsurnya atau sebagai Khaliq rohani.
Tenaga ghaib ini dapat menjelma a.l. dalam alam (animisme), dalam buku suci (Torat)
atau dalam manusia (Kristus).[6]
Uraian tentang agama yang telah dikemukakan oleh para tokoh di atas,
memandang agama sebagai satu bentuk atuaran-aturan yang harus dipatuhi oleh
manusia dalam kehidupan mereka. Selain itu, bahwa dalam agama terdapat unsur
kepercayaan terhadap kekuatan ghaib, yakni antara makhluk terhadap Khaliq.
Terkadang juga kita temukan sebuah pernyataan bahwa agama = religion
(dalam bahasa Barat) = al Din (dalam bahasa Arab). Yang menjadi
pertanyaan adalah apa yang melandasi pernyataan yang telah ada itu? benarkah
pernayataan tersebut memiliki kesamaan dalam subtansinya maupun bangunan
kosepnya? Kalau di dalam kata agama/religion/din ditambahkan satu kata
sifat –misal Islam, Kristen, Hindu atau Budha- dan kita anggap bahwa kata agama/religion/din
memiliki makna yang sama maka orang akan dapat mengatakan bahwa semua agama itu
sama. Deskontruksi dan reduksi yang terjadi terhadap makna agama pada era
modern ini akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan umat Islam maupun umat
beragama yang lain.
Endang Saifuddin mengutip pendapat Zainal Arifin Abbas, dalam bukun Perkembangan
Fikiran terhadap Agama membahas tentang religion dan agama sebagaimana
berikut;
Selain perkataan agama dalam bahasa Latin yaitu religion. Dalam bahasa-bahasa Barat sekarang biasa
disebut Religion dan religious….. dalam bahasa Arab disebut Din dangan
memanjangkan huruf ‘i’. Atau sempurnanya disebut al-Din….. Sesungguhnya
demikian, ada perbedaan yang poko dan luas antara maksud-maksud agama pada
kalimat ‘agama’ dalam bahasa Sansekerta dengan kalimat ‘religo’ bahasa Latin
dan kalimat ‘el-Din’ dalam bahasa Arab….[7]
Dari pernyataan
yang diungkapkan Abbas makna agama = religion (dalam bahasa Barat) = din
(dalam bahasa Arab). Uraian Abbas tentang definisi agama, dengan menyamakan
makna agama dengan religion dan din adalah tidak
meyakinkan dan berlandaskan pada dasar yang kuat. Menurut hemat penulis bahwa
makna dari din dengan religion serta agama tidaklah sama
seperti apa yang telah dikemukakan oleh para tokoh tersebut. Adalah satu
pendapat yang benar tentang definisi din diungkapkan oleh Muhammad
Naquib Al-Attas kami uraikan untuk memperkuat kesimpulan penulis.
Muhammad Naquib Al Attas menjelaskan, dalam Islam, istilah din yang
umumnya dipahami dengan istilah religion adalah tidak sama dengan konsep
religion yang dipahami dan ditafsirkan dalam sejarah agama Barat. Islam
sebagai agama harus dipahami dalam makna din, sebagimana dijelaskan
dalam al-Qur’an dan bahasa Arab. Kata din dalam QS An Nisa ; 125 itu
tidak lain dan tidak bukan hanya merujuk kepada Islam.[8] Tidak ada keraguan bahwa
ada berbagai bentuk din lainnya. Tetapi menurut al Attas yang melakukan
total submission kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah yang benar, dan din
semacam itulah yang merupakan satu-satunya din yang diterima Tuhan.
Sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya; Barang siapa mencari din selain
Islam, maka tidak akan diterima din itu darinya. Dan di akhirat ia termasuk
orang yang merugi. Juga firmanNya; Sesungguhnya ad-Din yang diridhai Allah
hanyalah Islam.[9]
Penjelasan Al-Attas mengenai makna din dan Islam, memberikan
gambaran yang jelas, bahwa din yang benar dan diakui Allah adalah Islam.
Itulah din para Nabi yang disempurnakan oleh Nabi terakhir, Nabi
Muhammad saw. Islam merupakan agama yang universal dan Nabi Muhammad diutus
oleh Allah untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia (Q.S. 21 : 107 & 34 : 38).
C. AGAMA
SEBAGAI KELOMPOK ETNIK
Sitiap
masyarakat, apalagi yang makin majemuk, selalu terbentuk kelompok-kelompok.
Kelompok-kelompok itu terbentuk karena para anggotanya mempunyai cita-cita yang
didasarkan pada nilai atau norma yang
sama-sama mereka terima dan patuhi. Apabila kelompok itu sangat kokoh
mempertahankan norma dan nilai hingga menutup kemungkinan orang atau pihak lain
memasuki kelompok itu maka dapat timbul perasaan “in group feeling” yang
cendrung eksklusif terhadap kelompok yang lain atau “out group feeling”
kelompok seperti ini disebut kelompok etnik.
Akan halnya agama pun demikian. Manusia yang berkelompok berdasarkan keyakinan,
kepercayaan, iman terhadap sesuatu yang bersifat sakral disebut kelompok Agama.
Karena itu, Agama dapat dipandang sebagai suatu kelompok etnik. Secara
histories dapat disaksikan bahwa Agama sebagai kelompok etnik itu mewakili
suatu populasi tertentu yang kita kenal keberadaannya dalam suatu masyarakat.
Keberadaan kelompok Agama dapat dilihat berupa simbol dan tanda, materi,
pesan-pesan verbal dan nonverbal, petunjuk berupa meteri dan immaterial, bahkan
sikap dan cara berpikir yang sifatnya abstrak. Para pengikut suatu Agama
kerapkali (bahkan dalam seluruh kehidupannya) menjadikan petunjuk-petunjuk
tersebut sebagai bahan, pesan, serta pola yang mengatur interaksi, relasi dan
komunikasi, baik dalam ritual keagamaan hingga ke komunikasi intra kelompok
maupun antar kelompok Agama dan keagamaan.
Berdasarkan pandangan tersebut, maka studi-studi sosiologi tentang Agama
dan kelompok keagamaan selalu menempatkan para pemeluknya dalam situasi dan kondisi
sosial masyarakat yang melingkupinya. Misalnya memperhatikan aspek-aspek yang
berkaitan dengan:
(1)
keberadaan para pemeluk suatu masyarakat
majemuk. Sebagai contoh, akibat kemajemukan maka para pemeluk agama dapat
tersusun ke dalam segmen-segmen atau komunitas khusus yang merupakan kesatuan
sosiologis/antropologis. Segmen-segmen itu mempengaruhi hubungan
intra Agama dan antar Agama dalam suatu masyarakat. Faktor ini menjadi penting
karena kerapkali pengelompokkan Agama maupun kelompok keagamaan tersusun atas
unsur-unsur kesamaan darah, bangsa dan ras bahasa, daerah atau wilayah.
(2)
Keberadaan para pemeluk yang dikaitkan
dengan kesatuan “ideologi”. Sebagai contoh ada agama yang sangat terikat pada
struktur Negara, paham kebangsaan, bahkan ideologi Negara.
(3)
Keberadaan para pemeluk yang dikaitkan
dengan kesatuan “ interest” yang cenderung mengarah kepada pengelompokkan
sosial dan politis. Contoh pada kaitan agama dengan kelompok yang terbentuk
dengan azas ciri khas Agama (kelompok keagamaan).
(4) Keberadaan
para pemeluk yang dihubungkan dengan kesatuan pragmatis, yaitu kelompok agama
ideal yang kehadiran nya dalam masyarakat tanpa memandang ideologi, politis dan
lain-lain. Model
kesatuan ini mengenyampingkan unsure-unsur SARA.
(5) Keberadaan para pemeluk
yang dihubungkan dengan kesatuan iman keagamaan, yaitu suatu kepercayaan
bersama atas iman khusus yang membedakan dengan iman universal dari kelompok
agama lain.
Dapat disimpulkan bahwa setiap kelompok agama
hadir dan diakui karena: (1) secara biologis para anggota kelompok mampu
berkembang dan bertahan, mempunyai jumlah tertentu; (2) secara sosiologis
diterima dalam suatu masyarakat karena kehadiran kelompok itu tidak membawa
bibit disintegrasi; (3) mempunyai kesamaan nilai yang diimani dan secara sadar
mempengaruhi anggota untuk selalu “bersama-sama” dan nilai itu juga diakui oleh
anggota kelompok lain; (4) membentuk jaringan-jaringan komunikasi intrakelompok
secara teratur; (5) mempunyai dan menentukan ciri kelompok yang berbeda dengan
kelompok lain; dan (6) kadang-kadang mempunyai wilayah pengaruh dan kekuasaan.
Jadi apabila
Agama disebut kelompok etnik, tentu akan terjadi perbedaan-perbedaan dalam
berbagai hal. Agar perbedaan tersebut tidak menimbulkan permasalahan, maka
perlu adanya komunikasi yang disebut komunikasi antar budaya. Karena pada
dasarnya komunikasi antarbudaya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap
aktivitas komunikasi, apa makna pesan verbal dan non verbal menurut
budaya-budaya yang bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan, bagaimana cara
mengkomunikasikannya, dan kapan mengkomunikasikannya. Dengan demikian
maka akan terjalin hubungan yang baik antara kelompok etnik yang berbeda.
Namun perlu digaris bawahi bahwa Islam sangat berbeda dengan Agama-agama
lain seperti yang tertera diatas. Pemaknaan Agama sebagai kelompok etnik
jelas-jelas tidak ditemukan dalam Islam. Karena jika disebut agama sebagai
kelompok etnik, maka kita akan terjebak pada pemahaman bahwa Islam adalah hasil
dari kebudayaan. Padahal Islam bukan hasil dari produk budaya maupun filsafat
tertentu, melainkan hasil dari kebenaran wahyu yang absolute. Islam
bukan hanya untuk golongan atau etnik tertentu melainkan untuk Rahmatan lil
’Alamin. Jadi bukan Agama yang termasuk bagian budaya ataupun etnik akan
tetapi kebudayaan dan etnik adalah bagian dari Agama.[10]
D.
HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Berbicara tentang hubungan antar
agama, wacana pluralisme agama menjadi perbincangan utama.
Pluralisme agama sendiri dimaknai secara
berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim, baik secara sosiologis, teologis
maupun etis.
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita
adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah
kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam
kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan
terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme
yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan
terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M.
Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi
berganti.[11] Ia
mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu
dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat
pisah darinya.[12] Berdasarkan keyakinan inilah, menurut
Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena
manusia dalam keadaan involved
(terlibat). Sebagai seorang Muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa
ia involved
(terlibat) dengan Islam.[13] Namun,
Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam
agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus mengakui
adanya religious pluralism dalam
masyarakat.[14]
Pengakuan
pluralisme secara sosiologis ini juga dikemukakan oleh Mukti Ali. Mukti Ali
secara sosial tidak mempersoalkan adanya pluralisme, dalam
pengakuan-pengakuan sosial, tetapi ia sangat tegas dalam hal-hal teologis. Ia menegaskan
bahwa keyakinan terhadap hal-hal
teologis tidak bisa dipakai hukum kompromistis. Oleh karena itu, dalam satu
persoalan (objek) yang sama, masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang
yang berbeda-beda, misalnya pandangan tentang al-Qur’an, Bibel, Nabi Muhammad,
Yesus dan Mariam.
Islam adalah Agama
yang sejak awal mengakui keberagaman. Konsep ”tidak ada paksaan dalam Agama”
dan konsep ”Bagimu Agamamu dan bagiku
Agamaku” sudah secara tegas disebutkan dalam Al Qur’an. Oleh karena itu
umat Islam dilarang keras memaksa non muslim untuk memeluk Islam, meskipun umat
Islam diperintahkan mendakwahkan Islam. Bahkan, kaum Muslim diwajibkan
menghormati pemeluk Agama lain. Seorang anak yang masuk Islam diwajibkan tetap
menghormati dan berbuat baik terhadap orangtuanya yang belum memeluk Islam.
Sejarah Islam membuktikan bagaimana tingginya sikap toleran kaum Muslim kepada
pemeluk Agama lain.
Tetapi dalam
konsepsi Islam, adalah mustahil mengakui bahwa semua paham (isme) atau Agama
adalah benar dan merupakan sama-sama jalan yang menuju kepada Tuhan. Maka ada
perbedaan mendasar antara menerima dan mengakui keberagaman Agama dengan
mengakui kebenaran semua Agama. Yang pertama bisa dikatakan sebagai mengakui
pluralitas Agama, sedangkan yang kedua mengakui pluralisme Agama. Islam
menerima dan mengakui perbedaan dan keberagaman tapi jelas tidak mengakui bahwa
semua Agama adalah sah dan sama-sama jalan menuju Tuhan yang satu.[15]
Oleh sebab itu hubungan antar Agama
di sini hanya pada tataran kehidupan sosial dan tidak sampai pada
masalah-masalah teologis. Sehingga dalam pembahasan ini hubungan antar Agama
juga sebagai komunikasi antar budaya, karena terdapat perbedaan antara Agama
yang satu dengan Agama lain. Sebagaimana diungkapkan oleh DeVito (1997)
bentuk-bentuk komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi antara kelompok agama
yang berbeda. Misalnya: antara orang Islam dengan orang Yahudi. Jadi Ketika
komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, agama, kelompok ras, atau
kelompok bahasa, komunikasi itu disebut komunikasi antarbudaya.
E.
BEBERAPA MASALAH DAN PEMECAHAN HUBUNGAN ANTARAGAMA
Di kalangan umat beragama ada segudang persoalan.
Persoalan-persoalan itu ada yang sudah terlesesaikan, ada yang masih dalam
proses penyelesaian, dan ada juga yang belum terselesaikan. Beberapa persoalan dalam hubungan antar umat
beragama terasa masih berlanjut sampai masa sekarang dan mungkin sampai masa
yang akan datang. Beberapa kasus yang menimpa umat beragama, seperti di Poso,
adalah satu contoh yang masih hangat di telinga.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian agama (studi
agama) terhadap persoalan-persoalan yang selama ini terabaikan dalam konteks
relasi antar umat beragama. Kajian-kajian itu adalah usaha untuk melakukan
kritisisme situasi sejarah yang seringkali menunjukkan kesalahpahaman antar
umat beragama. Melalui kajian-kajian itu dimungkinkan tidak hanya dapat
menemukan fakta-fakta tetapi juga meneliti fakta-fakta yang berarti pada masa lalu atau berarti pada
masa sekarang.
Hendaknya studi
agama-agama tidak hanya berkonsentrasi pada fakta-fakta agama tetapi juga pada
hal-hal yang telah diinterpretasikan oleh pemeluk agama dalam semua
varietasnya. Di Indonesia, perkembangan studi Agama di beberapa pendidikan
tinggi dan lembaga-lembaga lain menunjukkan perkembangan yang cukup
menggembirakan, sehingga pencarian titik temu antar umat beragama bisa lebih
banyak alternatif. Seperti yang dikemukakan oleh M. Amin Abdullah, seorang guru
besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bahwa pintu masuk titik temu agama-agama
bisa melalui etika. Ia mengemukakan:
“Al-Qur’an hanya mengajak kepada seluruh penganut
agama-agama lain dan penganut agama Islam sendiri untuk mencari “titik temu” (kalimatun sawa’) di luar aspek teologis
yang memang sudah berbeda sejak semula. Pencarian titik temu lewat perjumpaan
dan dialog yang konstruktif berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang
perenial, abadi, tanpa henti-hentinya. Pencarian titik temu antar umat beragama
dapat dimungkinkan lewat berbagai cara, salah satunya lewat pintu masuk etika,
karena lewat pintu masuk etika manusia beragama secara universal menemui
tantangan-tantangan kemanusiaan yang sama. Lewat pintu masuk etika ini – untuk
tidak mengatakan lewat pintu teologis—manusia beragama merasa mempunyai
puncak-puncak keprihatinan yang sama. Untuk era sekarang, tantangan scientisme
dengan berbagai implikasinya, tantangan lingkungan hidup, menjunjung tinggi
harkat kemanusiaan (human dignity),
menghormati hak asasi manusia adalah merupakan agenda bersama umat manusia
tanpa pandang “bulu” keagamaannya. Lewat pintu etika ini, seluruh penganut
agama-agama dapat tersentuh “relijiusitas”nya, untuk tidak hanya menonjolkan “having a religion”nya. Lewat pintu
etika, dimensi spiritualitas keberagamaan lebih terasa promising and challenging dan bukannya hanya terfokus pada dimensi
formalitas lahiriyah kelembagaan agama.”[16]
Keperluan yang urgen untuk melakukan studi agama dalam
komunikasi antar budaya adalah pada tiga aspek. Pertama, mengkaji sejarah
relasi-relasi antar umat beragama. Dialog antar umat beragama, sebagaimana yang
pernah terjadi dalam rentang sejarah, harus dilihat sebagai momen yang istimewa
dalam sejarah relasi umat beragama dan interaksi pada umumnya. Kedua, mengkaji relasi-relasi yang
sedang terjadi pada masa sekarang;
misalnya tentang
perkembangan-perkembangan pada hari-hari ini dan implikasi-implikasinya
bagi relasi mereka. Ketiga, mengkaji
akar-akar konflik antara komunitas-komunitas beragama dan mencari solusi yang tepat untuk memecahkan konflik semacam
itu. Dalam studi semacam itu tentu saja diperlukan kontribusi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora
untuk menghindari konflik-konflik di
masa depan.
Adanya perbedaan agama-agama itu bukan berarti tidak ada
“titik temu” yang dapat melahirkan mutual
understanding di antara mereka. Titik temu itu bisa berupa kesatuan yang
bersifat social, dan etis (moral). Selain itu,
penulis menekankan pentingnya moralitas dan etika dalam mencari jalan keluar
untuk mengembangkan dialog di masa depan. Dalam hal ini umat beragama, khususnya
umat Islam, dapat belajar dari pengalaman Nabi Muhammad ketika
mengimplementasikan pengalaman toleransi, kerukunan antar umat beragama. Namun
tetap menjadi catatan penting bagi umat Islam bahwa tidak ada toleransi dalam
hubungan teologis, karena sekali lagi Islam tidak sama dengan agama-agama lain
(non Islam).
Oleh karena itu kemajemukan agama tidak menghalangi untuk
hidup bersama, berdampingan secara damai dan aman. Bahkan, kemajemukan agama
tidak menghalangi umat beragama untuk membangun suatu negara yang bisa mengayomi dan menghargai
keberadaan umat agama lain. Adanya saling pengertian dan pemahaman yang dalam
akan keberadaan masing-masing, menjadi modal dasar yang sangat menentukan.
Sebagaimana pengalaman Nabi dalam membangun Madinah yang mengandung dimensi
moral dan etis. Di antara dimensi moral dan etis agama-agama adalah saling
menghormati dan menghargai pemeluk agama lain. Jika masing-masing pemeluk agama
memegang moralitas dan etikanya masing-masing, maka kerukunan, perdamaian dan
persaudaran bisa terwujud.
F.
KESIMPULAN
Komunikasi Antar Budaya sangat
penting untuk dipelajari dan diperdalam karena di dalam manusia itu sendiri terdiri
dari berbagai macam suku, ras, dan Agama yang rentan sekali terjadi konflik.
Apabila salah satu suku tidak memahami apa yang dikatakan oleh suku lain, maka
akan terjadi perselisihan, begitu juga dengan perbedaan agama dan ras. Dengan
memahami Komunikasi Antar Budaya tentu peristiwa seperti di atas tidak akan
terjadi karena kita saling mengerti dan memahami apa yang dimaksud oleh suku,
ras dan Agama lain.
Secara khusus fungsi komunikasi
antarbudaya adalah untuk mengurangi ketidakpastian. Karena, ketika kita
memasuki wilayah orang lain kita dihadapkan dengan orang-orang yang sedikit
banyak berbeda dengan kita dalam berbagai aspek (sosial, budaya, ekonomi,
status,dll). Pada waktu itu pula kita dihadapkan dengan ketidakpastian dan
ambiguitas dalam komunikasi. Sehingga komunikasi Antar Budaya dirasa perlu memasuki
lingkup Hubungan Antar Agama dengan segala perbedaan yang terdapat di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M Amin, “Etika dan Dialog
Antar Agama: Perspektif Islam”, dalam Jurnal
Ulumul Qur’an. No. 4 Vol. IV. Th. 1993.
Al Kahiri, Fachroeddin, Islam Menoeroet Faham
Filosofie, Choetbah di radioV.O.R.L Bandung, Kemajoean Islam
Djokjakarta, 1938.
An Naquib Al Attas, syed, Prolegomena.
Makalah Adian Husaini, dengan tema “Pluralisme
Agama Musuh-Musuh Agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam
Terhadap pemahaman Pluralisme Agama)”
2010.
Makalah Seminar Nasional “Pemikiran
Islam Muhammadiyah; Respon terhadap Fenomena Liberalisme Islam” Tanggal 1-2
Maret 2004 di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Makalah Zainul Abas (Dosen STAIN Surakarta).
Muhammad Zain, Sutan, Kamus Modern
Bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit
Grafika, tanpa tahun.
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam,
Jakarta: PT RajaGrafindo, 1998.
Natsir, Muhammad, Islam dan Kristen
di Indonesia, dihimpun oleh Saifuddin Anshari, Bandung: 1969
Rasjidi, M, Al-Djami’ah,
Nomor Khusus, Mei 1968 Tahun ke VIII.
Saifuddin Anshari, Endang, Ilmu,
Filsafat, & Agama, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979.
[1] Muhammad Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, dihimpun
oleh Saifuddin Anshari, Bandung: 1969, h.227.
[2] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam,
(Jakarta: PT RajaGrafindo, 1998), hal.8. Pernyataan ini, diungkapkan oleh Mukti
Ali dalam sebuah ceramahnya berjudul “Agama, Universitas, dan Pembangunan” di
IKIP Bandung pada tanggal 4 Desember 1971.
[3] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu,
Filsafat, & Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979), h. 120
[4] Lihat dalam Fachroeddin Al Kahiri, Islam
Menoeroet Faham Filosofie, Choetbah di radioV.O.R.L Bandung,
Kemajoean Islam Djokjakarta, 1938, h. 6 Ketika berbicara tentang “Faham dan
Arti Agama” ia mengatakan:
“Sepanjang hemat kita adalah perkataan agama itu majmu’ bahasa Sangsekerta,
yang terdiri dari dua perkataan, yang pertama (a) dan kedua gama. A,
artinya dalam bahasa Sangsekerta: tidak, gama, artinya kocar-kacir,
berantakan, yang sama artinya dengan perkataan Griek: chaos. Jadi arti kata
agama adalah tidak kocar-kacir, atau tidak berantakan. Lebih jelas lagi, kata
agama itu ialah teratur, beres,. Jadi yang dimaksud di sini adalah suatu
peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun mengenai sesuatu yang ghaib,
ataupun yang mengenai budi pekerti, pergaulan hidup bersama dan lainnya.”
[5] Endang, hal 12, dapat dilihat dalam Sutan
Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Penerbit Grafika, Jakarta, tanpa tahun, hal.
17
[6] Ibid,- dapat dilihat dalam T.G.S Mulia
dan K.A.H Hiddung, Ensiklopedia Indonesia, A-E, N.V. Penerbitan W. Van
Hoeve Bandung. ‘s-Gravenhage, tanpa tahun, h.31
[7] Endang, hal.122
[8]ومن احسن دينا ممن أسلم وجهه لله
و هو محسن واتبع ملة ابراهيم حنيفا, واتخذ الله ابراهيم خليلا.
Artinya; ”Dan siapakah yang lebih baik
agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang
diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan
Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”
[9] Disampaikan pada seminar nasional
“Pemikiran Islam Muhammadiyah; Respon terhadap Fenomena Liberalisme Islam”
Tanggal 1-2 Maret 2004 di Universitas Muhammadiyah Surakarta, lihat dalam
Al-Attas, Prolegomena, hal. 41
[10] Syed An Naquib Al Attas dalam bukunya Prolegomena ” Islam is not
a form of culture, and it’s system of thought projecting it’s vision of reality and truth and the system of value
derived from it, are not marely derived from culture and phylosopical elements
aided by science but one whose original source is revelation”
[11] Argumen ini dikemukakan oleh Prof. Rasjidi dalam satu tulisannya
yang disampaikan dalam Pidato Sambutan
Musyawarah Antar Agama, 30 November 1967 di Jakarta. Penulis mendapati tulisan
ini dari dua sumber, yakni di dalam Makalah Zainul Abas (Dosen STAIN Surakarta).
[12]M. Rasjidi, Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968 Tahun ke VIII, hlm.35.
[13]Ibid.
[15]Penulis mendapatkan argumentasi ini dari makalah Adian Husaini,
dengan tema “Pluralisme Agama Musuh-Musuh Agama (Pandangan Katolik,
Protestan, Hindu, dan Islam Terhadap pemahaman Pluralisme Agama)” 2010, halaman. 24-25.
[16]M Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an. No. 4 Vol. IV. Th. 1993, hlm. 21.
By: AFRI SANTOSO, S.KOM.I
panjang banget postingan nya
BalasHapusSAYA SANGAT TERTARIK DENGAN TULISAN INI, IZINKAN SAYA MENGUTIP BAGIAN-BAGIAN PENTINGNYA, TENTU SESUAI KAIDAH AKADEMIK YANG ETIS, TERIMAKASIH
BalasHapusTerimakasih, solatun, hmsdulahsayuti@gmail.com
Hapusizin mmengambil makalah agar di jadikan referensi
BalasHapusterimakasih