This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 05 Desember 2011

Model Pembelajaran Tematik
A.    Pendahuluan
Belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar juga merupakan proses melihat mengamati, dan memahami sesuatu. Oleh Karena itu proses pembelajaran yang terangkum dalam suatu wadah pendidikan diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas masyarakat.[1]

Jumat, 14 Januari 2011

Imam Bukhari

A.     Pendahuluan
Hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, pada masa Nabi hadits belum ditulis atau dibukukan secara resmi dan missal. Hadits pada saat itu pada umumnya diajarkan dan diriwayatkan secara lisan dan hafalan, walaupun begitu tidaklah berarti bahwa pada saat itu kegiatan penulisan hadits tidak ada sama sekali. Kalangan sahabat pada saat itu cukup banyak yang menulis hadits secara pribadi, tetapi kegiatan penulisan tersebut selain dimaksudkan untuk kepentingan pribadi, juga belum bersifat massal.  Sejarah penulisan hadis secara resmi dan masal dalam arti sebagai kebijakan pemerintah, barulah terjadi pada masa pemerintahan ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz.
Dalam rentang waktu yang cukup panjang ini, telah banyak terjadi  pemalsuan-pemalsuan hadits yang dilakukan oleh orang-orang dan golongan tertentu dengan berbagai tujuan.[1] Atas kenyataan inilah maka ulama hadits dalam usahanya membukukan hadits Nabi selain harus melakukan perjalanan untuk menghubungi para periwayat yang tersebar di pelbagai daerah yang jauh, juga harus mengadakan penelitian dan penyeleksian terhadap semua hadits yang akan mereka bukukan. Karena itu proses pembukuan hadits secara menyeluruh mengalami waktu yang cukup panjang.
Erat kaitannya dengan persoalan di atas, pembukuan hadits yang banyak dilakukan oleh banyak Ulama sesudah abad pertama hijriyah, dan juga kriteria serta kaidah yang dipergunakan di dalam mengumpulkan dan menyeleksi hadits-hadits yang didapatkan, telah banyak yang dapat mereka hasilkan berupa kitab-kitab hadits yang bermacam-macam jenisnya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Namun dari sekian banyak kitab hadits yang ada, nampaknya yang paling terkenal dan mampu memperoleh derajat kedudukan kualitas paling tinggi adalah Kitab al-Jami’ al-Musnad al-Sahih karya al Imam al-Bukhari.ra.[2]
Hadits karya al-Bukhari adalah kitab yang mula-mula membukukan hadits-hadits shahih. Kebanyakan Ulama hadits telah sepakat menetapkan bahwa karya al-Bukhari itu adalah kitab yang paling shahih sesudah al-Qur’an. Karya sehebat ini tidak mungkin akan hadir begitu saja tanpa kesungguhan yang luar biasa dari Imam al-Bukhari.

Al GHazali (Hujatul Islam)

A.    Pendahuluan
Dalam dunia pemikiran Islam, nama Al Ghazali bukan figur yang asing, sebab begitu banyak orang menemukan namanya dalam berbagai literatur, baik klasik maupun modern. Pemikir besar dalam dunia Islam abad ke-5 H, yang terkenal dengan julukan Hujjat al Islam dan Zayn ad din[1] ini, tidak pernah sepi dari pembicaraan dan sorotan, baik yang bernada pro maupun kontra.

Rabu, 12 Januari 2011

Pengertian, Pembukuan, Dan Pembakuan Al Qur'an



PENGERTIAN, PEMBUKUAN, DAN PEMBAKUAN
AL QUR’AN
Oleh : Afri Santoso

A.    Pendahuluan
Kajian al Qur’an al Karim telah bermula sejak kitab ini diturunkan/ diwahyukan kepada Nabi Muhamad Saw. Konsep-konsep di dalam al Qur’an selalu relevan dengan problema yang dihadapi oleh  manusia, karena ia turun untuk berdialog dengan umat yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan terhadap problema tersebut, kapan dan di mana pun mereka berada.
Al Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap Muslim bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablu min Allah wa hablu min an-nas), serta manusia dengan alam sekitar. Untuk memahami ajaran al Qur’an secara sempurna (kaffah) diperlukan pemahaman terhadap kandungan al Qur’an dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.[1] 

Sabtu, 16 Oktober 2010

Epistemololgi

Salah satu cabang filsafat yang jumlah pembahasannya hampir mencakup isi keseluruhan filsafat itu sendiri adalah epistemologi. Sebab, filsafat adalah refleksi, dan setiap refleksi selalu bersifat kritis, maka tidak mungkin seorang memiliki suatu metafisika, yang tidak sekaligus merupakan epistemologi dari metafisika, atau psikologi, yang tidak sekaligus epistemologi dari psikologi.
Ini dapat dilihat dari cakupan epistemologi yang meliputi hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat, pertanggungjawaban, dan skope pengetahuan. Jadi, hal ini dapat juga dikatakan bahwa epistemologi adalah teori tentang ilmu yang membahas ilmu dan bagaimana memperolehnya.

Jumat, 08 Oktober 2010

Menata Timbangan diri
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”
Maha besar Allah yang telah menciptakan dunia begitu indah awan pekat berbondong-bondong digiring angin. Hujan bersih menitik dari langit. Tumbuh-tumbuhan pun menghijau, menyegarkan pandangan dan menyejukkan hati yang gelisah. Saatnya diri untuk bercermin menengok seberapa kotor wajah karena terpaan debu kehidupan. Saatnyalah menimbang diri dengan penuh kejernihan.

Timbangan Diri

Menata Timbangan diri
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”
Maha besar Allah yang telah menciptakan dunia begitu indah awan pekat berbondong-bondong digiring angin. Hujan bersih menitik dari langit. Tumbuh-tumbuhan pun menghijau, menyegarkan pandangan dan menyejukkan hati yang gelisah. Saatnya diri untuk bercermin menengok seberapa kotor wajah karena terpaan debu kehidupan. Saatnyalah menimbang diri dengan penuh kejernihan.

Resapilah bahwa diri terlalu banyak dosa bukan sebaliknya
Diantara bentuk kelalaian yang palin fatal adalah merasa tidak punya dosa yang kerap terbayang selalu pada kebaikan yang pernah dilakukan. Dari sinilah seseorang biasa terjebak pada memudah-mudahkan kesalahan. Bahkan, menjurus kepada kesombongan. Sayalah orang yang paling baik, pasti masuk syurga”. Dua firman Allah SWT. Menyiratkan orang-orang yang lalai seperti itu “ katakanlah apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu , orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baknya.(QS Al kahfi: 103-104).
Bentuk lain dari sikap ini adanya keengganan mencari fadhilah atau nilai tambah sebuah ibadah. Semua yang dilakukan hanya yang wajib. Keinginan menunaikan yang sunah menjadi tidak begitu menarik ibadahnya begitu kering, padahal, Rasulullah SAW. Tidak pernah lepas dari ibadah sunah. Tapi Rasulullah SAW. Pernah bengkak karena lamanya berdiri dalam shalat, istri beliau, Aisyah pernah mengatakan, kenapa anda lakukan itu , ya Raulullah padahal Allah sudah mengampuni dosa-dosa anda. Rasulullah SAW menjawab apa tidak boleh aku menjadi hamba yang senantiasa bersyukur. Beliau SAW mengucapkan istighfar tak kurang dari 70 kali setiap hari. Setiap kali ada kesempatan beliau SAW salalu memohon maaf kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan beliau. Beliau khawatir kalau ada kesalah yang tak disengaja. Kesalahan yang terasa ringan buat diri tapi berat buat orang lain.

Berlatih Diri Untuk Menerima Nasihat, Dari Siapapun Datangnya
Boleh jadi, sebuah pepatah memang cocok buat diri kita: gajah di pelupuk mata tak tampak, sementara kuman di seberang lautan jelas terlihat.
Kesalahan orang lain begitu jelas buat kita. Tapi, kekhilafan diri sendiri seperti tak pernah ada.
Jadi, tidak semua orang yang paham tentang teori salah dan dosa mampu mendeteksi dan mengoreksi kesalahan diri sendiri. Rasulullah SAW pernah menyampaikan hal itu dalam hadits yang diriwayatkan Muslim,” pada hari kiamat seorang dihadapkan dan dilempar ke neraka. Orang-orang bertanya, “hai fulan, mengapa kamu masuk neraka sedang kamu dahulu adalah orang yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar? Orang yang tersebut menjawab, ya, benar. Dahulu aku menyuruh berbuat ma’ruf, sedang aku sendiri tidak melakukannya. Aku mencegah orang lain berbuat munkar sedang aku sendiri melakukannya.”
Dari situlah, seseorang membutuhkan orang lain untuk menerima nasihat. Cuma masalahnya, seberapa cerdas seseorang menyikapi masukan. Kadang, emosi yang kerdil membuat sipenerima nasihat banyak menimbang. Ia tidak melihat apa isi nasihat tapi siapa yang memberi nasihat. Dan inilah dianatara indikasi seseorang terjebak dalam sifat sombong. Sebuah sifat yang selalu menolak kebenaran, dan mengecilkan keberadaan orang lain.

Paksakan Diri untuk Selalu Bermuhasabah Secara Rutin
Sukses tidaknya hidup seseorang sangat bergantung pada kemampuan mengawasi diri. Seberapa banyak kebaikan yang diperbuat dan seberapa besar kesalahan yang terlakoni. Kalau hasil hitungan itu positif, syukur adalah sikap yang paling tepat. Tapi jika negatif, istighfar yang ia terus ucapkan. Kesalahan itu pun menjadi pelajaran, agar tidak terulang di hari esok.
Masalahnya, orang yang cendrung santai, sulit melakukan muahasabah secara jernih. Timbangannya selalu miring, yang selalu terlihat cuma kebaikan-kebaikan. Sementara, dosa dan kesalahan tenggelam dengan tumpukan angan-angan.
Muhasabah yang tidak jernih kerap menonjolkan amalan dari segi jumlah bukan mutu. Padahal, Allah SWT tidak sekedar melihat jumlah, tapi juga mutu. Bagaimana niat amal, seberapa besar kesadaran dan pemahaman dalam amal tersebut. Dan selanjutnya, sejauh mana produktivitas yang dihasilkan oleh amal.
Bahkan boleh jadi, orang justru jatuh dalam kesalahan ketika proses amalnya menzholimi orang lain. Atau, amal yang dilakukan menciderai hak orang lain, Umar bin Khtab pernah memarahi seorang pemuda yang terus menerus berada di masjid, sementara kewajiban mencari nafkah terabaikan.
Umar bin Khatab pula yang pernah memberikan nasihat buat kita semua. “ Hisablah diri kamu sebelum diri kamu dihisab. Timbanglah amalan kamu sebelum ia ditimbang, dan bersiap-siaplah menghadapi hari kiamat (hari perhitungan).”

Gandrungkan Diri Untuk Tetap Rindu Pada Lingkungan Orang-Orang Shaleh
Rasulullah SAW pernah bersabda,” seseorang adalah sejalan dan sealiran dengan kawan akrabnya. Maka, hendaklah kamu berhati-hati dalam memilih kawan pendamping.” (H.R Ahmad)
Nasihat Rasul ini tentu tidak mengharamkan seorang mukmin mendekati orang-orang yang tinggal di lingkungan buruk. Karena justru merekalah yang paling berhak di ajak kepada kebersihan Islam. Tapi ada saat-saat tertentu, seseorang lebih cendrung pada lingkungan negatif dari pada yang baik. Bukan, karena ingin berdakwah tapi karena ingin mecari kebebasan. Di situlah ia tidak mendapat halangan, teguran, dan nasihat. Nafsunya bisa lepas, bebas, dan tanpa batas.
Ketika seseoarang berbuat dosa, sebenarnya ia sedang mengalami penurunan iman. Karena dosa sebenarnya bukan pada besar kecilnya. Tapi, di hadapan siapa dosa dilakukan. Rasulullah SAW bersabda, “ janganlah memandang kecil (dosa), tapi pandanglah kepada siapa yang kamu durhakai.”(H.R.Athusi)