Jumat, 14 Januari 2011

Al GHazali (Hujatul Islam)

A.    Pendahuluan
Dalam dunia pemikiran Islam, nama Al Ghazali bukan figur yang asing, sebab begitu banyak orang menemukan namanya dalam berbagai literatur, baik klasik maupun modern. Pemikir besar dalam dunia Islam abad ke-5 H, yang terkenal dengan julukan Hujjat al Islam dan Zayn ad din[1] ini, tidak pernah sepi dari pembicaraan dan sorotan, baik yang bernada pro maupun kontra.
[2]
Kemasyhuran nama Al Ghazali dalam dunia Islam di samping karena pemikiran-pemikirannya yang bersifat monumental, juga karena kisah petualangan panjangnya dalam mengakaji, menilai, dan merumuskan ilmu pengetahuan dalam berbagai aspeknya.[3] Maka, petualangan panjang inilah membuat namanya menjadi tenar setenar pemikirannya.
Oleh karena itu, makalah ini akan mengurai beberapa pembahasan mengenai petualangan Al Ghazali dalam proses dialektika pemikirannya yang monumental. Adapun fokus uraian pada makalah ini akan lebih ditekankan kepada kritik Al Ghazali terhadap pemikiran-pemikiran yang berkembanga pada masanya.
B.     Kehidupan Al Ghazali
1. Biografi dan Karya Al Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi  As Syafi’i Al- Ghazali. Secara singkat dipanggil Al Ghazali atau Abu Hamid Al Ghazali. Ia dipanggil Al Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kampung di Khurasan, Iran yaitu pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Ayahnya adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat beribadah, sangat menyenangi ulama, dan aktif menghadiri mejelis-majelis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ia menitipkan Al Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada sufi itu seraya berkata dalam wasiatnya:[4]
Aku menyesal sekali karena aku tidak belajar menulis. Aku berharap untuk            mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu  melalui kedua putraku ini.”

Sufi tersebut menjalankan isi wasiat dengan cara mendidik dan mengajar keduanya, sampai harta titipan itu habis dan sang sufi tidak mampu lagi memberi makan keduanya. Selanjutnya sufi itu menyerahkan kedua anak itu kepada pengelola sebuah madrasah untuk belajar sekaligus untuk menyambung hidup mereka.
Di dalam madrasah tersebut Al Ghazali mempelajari ilmu Fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar Rizkani. Kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, ia berguru kepada Imam Haramain (Imam Al Juwaini, wafat 478 H/1086 M) hingga ia menguasai ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan retorika perdebatan.[5]
Selama berada di Naisabur, Al Ghazali tidak hanya belajar kepada Al Juwaini, tetapi juga mempelajari teori-teori tasawuf  kepada Yusuf An Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan praktik tasawuf kendatipun hal itu belum mendatangkan pengaruh yang berarti dalam hidupnya.
Ilmu-ilmu yang didapatkan dari Al Juwaini benar-benar dikuasai Al Ghazali termasuk perbedaan pendapat dari para ahlinya, serta memberikan sanggahan kepada para penentangnya. Karena kemahirannya dalam masalah ini, Al  Juwaini menjuluki Al Ghazali dengan Bahr Mu’riq (lautan yang menghanyutkan).
Kecerdasan dan keluasan pemikiran Al Ghazali membuatnya menjadi populer. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa secara diam-diam, di hati Imam Haramain timbul rasa iri, hingga ia mengatakan:
            “ Engkau telah memudarkan ketenaranku padahal aku masih hidup, apakah           aku mesti menahan diri padahal ketenaranku telah mati.

            Setelah Imam Haramain wafat (478 H/1086 M), Al Ghazali pergi ke Baghdad, tempat berkuasanya perdana Mentri Nizham Al Mulk (w. 485 H/1091 M). Tempat ini merupakan tempat berkumpul sekaligus tempat diselenggarakannya perdebatan-perdebatan antar ulama terkenal. Sebagai seorang yang menguasai retorika perdebatan, Al Ghazali terpancing untuk melibatkan diri dalam perdebatan-perdebatan itu. Dalam berbagai perdebatannya, Al Ghazali sering mengalahkan para ulama ternama sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al Ghazali.
            Sejak saat itu nama Al Ghazali menjadi termasyhur dikawasan kerajaan Saljuk. Kemasyhuran itu menyebabkan ia dipilih oleh Nizham Al Mulk  untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah,[6] Baghdad, pada tahun 483 H/1090 M. Meskipun ia baru berusia tiga puluh tahun. Selain mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif  mengadakan perdebatan terhadap faham golongan-golongan yang berkembang di waktu itu.
            Di balik kegiatan perdebatan dan penyelaman berbagai aliran, terjadi pergolakan dalam dirinya karena tidak ada yang memberikan kepuasan batinnya. Oleh karena itulah, ia memutuskan untuk melepaskan jabatan dan pengaruhnya serta meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina kemudian ke Mekkah untuk memperoleh  kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tahun 505 H/1111 M, dengan meninggalkan banyak karya tulis.
            Karya tulis yang ditinggalkan Al Ghazali menunjukkan keistimewaannya sebagai seorang pengarang yang produktif. Dalam seluruh hidupnya baik sebagai penasehat kerajaan  maupun sebagai guru besar di Baghdad, dan sewaktu mulai dalam masa skeptis di Naisabur maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantap, Al Ghazali tetap aktif mengarang.
            Menurut Sulaiman Dunya, karangan Al Ghazali mencapai 300 buku,[7] sedangkan menurut Tajuddin As Subki karangan Al Ghazali sebanyak 58 buku. Berbeda dengan penuturan Thasyi Kubra Zaedah yang menyatakan bahwa karangan Al Ghazali mencapai 500 buku, dan dikatakan pula bahwa di perpustakaan Abu Ishaq As Syirazi terdapat 400 buku karangan Al Ghazali.[8]
            Hanya saja, dari keseluruhan kitab yang dinisbahkan kepada Al Ghazali dalam berbagai subjek, ada yang dipastikan otentisitasnya (lebih kurang 72 buku). Badawi mengklasifikasikan kitab-kitab itu ke dalam tujuh katagori: 1) kitab-kitab yang dipastikan otentisitasnya, ditambah beberapa fatwa sehingga mencapai 72 buku. 2) yang diragukan otetisitasnya. 3) yang diduga kuat bukan karya Al Ghazali, mayoritas tentang sihir, tilsamat, dan ilmu-ilmu esoterik. 4) Bagian-bagian kitab Al Ghazali yang dijadikan kitab-kitab tersendiri dan kitab-kitab yang berjudul berbeda-beda, 5) Kitab-kitab palsu. 6) Kitab-kitab gelap tidak diketahui wujudnya, dan 7) manuskrip-manuskrip yang ada dan dinisbahkan kepada Al Ghazali.[9]
Kitab-kitab yang dipastikan otentitasnya itu antara lain :
1) Al Ta’liqat Fi Furu’ al Mazhab, 2) Al Mankhul fi al Ushul, 3) Al Basit fi Al Furu’, 4) Al Wajiz, 5) Al Wasit, 6) Khulasat al Mukhtasar wa Naqawat al Mu’tahsar, 7) Al Muntakhal fi ‘Ilm al Jidal, 8) Ma’akhiz al Khilaf, 9) Lubab Al Nazr, 10) Tahsin  al Ma’akhiz (fi ‘Ilm al Khilaf), 11) Kitab al Ghalil wa al Ghayat, 12) Kitab Syifa al Galil fi al Qiyas wa al Ta’lil, 13) Fatwa al Ghazali, 14) Fatwa, 15) Gayat al Gaur fi Dirayat al Daur, 16) Maqasid al Falasifah, 17) Tahafut al Falasifah, 18) Mi’yar al ‘Ilm fi Fann al Mantiq, 19) Mi’yar al Uqul, 20) Mahk al Nazr fi al Mantiq, 21) Mizan al Amal, 22) Kitab al Muntazhiri al Radd ‘ala al Bathiniyyah, 23) Kitab Hujjat al Haqq, 24) Qawasim al Bathiniyyah, 25) Al Iqtishad fi al ‘Itiqad, 26) Al Risalah al Qudusyyiah fi Qawa’id al Aqa’id, 27) Al Ma’arif al ‘Aqliyah wa Lubab al Hikmah al Ilahiyah, 28) Ihya’ Ulum al Din, 29) Kitab fi Mas’alat Kulli Mujtahid Musib, 30) Jawab Al Ghazali ‘an Da’wat Mu’ayyid al Mulk lahu li Mu’awadat  al Tadris bi al Nizhamiyah fi Baghdad, 31) Jawab Mafsal al Khilaf, 32) Jawab al Masa’il  al Arba’ allati sa’alaha al Bathiniyyah bi Hamdan min al Syaikh al Ajall Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad al Ghazali, 33) Al Maqsad as Asna Syarh Asma’ Allah al Husna, 34) Risalah fi Ruju’ Asma Allah ila al Zat  Wahidah ‘ala Ra’yi al Mu’tazilah wa al Falasifah, 35) Bidayat al Bidayah.
            36) Kitab al Wajiz fi al Fiqh, 37) Jawahir al Qur’an, 38) Kitab al ‘Arba’in fi Ushul al Din, 39) Kitab al Madnunu bihi ‘ala Gairi Ahlihi, 40) Al Madnunu bihi  ‘ala Ahlihi, 41) Kitab al Durj al Marqum  bi al Jadawil, 42) Al Qistash al Mustaqim, 43) Faisal Al Tafriqah bain al Islam wa al Zandaqah, 44) Al Qanun al  Kulli fi al Ta’wil, 45) Kimiyay Sa’adat (dalam bahasa Persia), 46) Ayyuha al Walad, 47)  Nasihat Al Mulk, 48) Zad Akhirat (dalam bahasa Persi), 49) Risalah ila Abi al Fath Ahmad Ibn Salamah  al Dimami bi al Mausul, 50) Al Risalah al Laduniyah, 51) Risalah ila Ba’di Ahli Asrih, 52) Misyakat al Anwar, 53) Tafsir Ya’qut al Ta’wil, 54) Al Kasyf  wa al Tabyin fi Gurur al Khalq Ajma’in, 55) Talbisu Iblis.
            56) Al Munqidz min Al Dhalalwa al Mufsih ‘an al Ahwal, 57) Kutub fi Al Sihr wa al Khawas wa al Kimiya, 58) Gaur al Daur fi al Mas’alat al Suraijiyyah, 59) Thazib al Ushul, 60) Kitab Haqiqat al Qaulain, 61) Kitab Asas al Qiyas, 62) Kitab Haqiqat Al Qur’an, 63) Al Mustasfa min al ‘Ilm al Ushul, 64) Al Imla ‘ala Musykil al ihya’, 65) Al Istidraj, 66) Al Durrrah al fakkhirah fi Kasy ‘Ulum al Akhirah, 67) Sirr al Alamain wa Kasyf Ma fi al Darain, 68) Asrar al Muamalat al Din, 69) Jawab Masa’il Su’ila ‘anha fi Nusus Asykalat ‘ala al sa’il, 70) Risalah al Aqtab, 71) Iljam al Awam ‘an ‘Ilm Kalam, 72) Minhaj al ‘Abidin.
            Terlepas dari beberapa pendapat mengenai karangan Al Ghazali, bahwa hal ini menunjukkan kebesaran nama Al Ghazali dan produktifnya  dalam mengarang buku, yang bermula sejak berusia dua puluh lima tahun, sewaktu ia masih berada di Naisabur. Waktu yang dipergunakan untuk mengarang terhitung selama tiga puluh tahun menjelang  wafatnya.[10]

2. Kondisi Pemikiran Masa Al Ghazali
            Kondisi pemikiran Islam pada masa Al Ghazali, banyak diwarnai pertentangan antar berbagai aliran pemikiran. Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa pada masa Al Ghazali merupakan abad kemunduran, tetapi justru menandakan bahwa pemikiran Islam tengah berkembang pesat.
 Dialog-dialog intelektual dengan nuansa perdebatan menandakan pencarian kebenaran melalui argumentasi ilmiah. Namun, sangat disayangkan, dialog-dialog intelektual itu mengarah pada upaya untuk mempertahankan doktrin aliran masing-masing yang cendrung saling antagonistik. Aliran-aliran yang sangat populer ketika itu adalah aliran kalam, aliran filsafat, aliran tasawuf, dan aliran bathiniah.[11]
Dengan demikiian, kondisi ini mampu membentuk pemikiran Al Ghazali sehingga ia mampu menjadi pemikir besar yang muncul pasca kemajuan Islam. Wajar jika banyak para penulis tertarik untuk menulis dan mengkaji pemikiran-pemikiran Al Ghazali, baik kalangan Muslim maupun kalangan Orientalis[12]

3. Evolusi Intelektual Al Ghazali
“Semua manusia ingin mengetahui”, demikianlah kalimat pembuka karya Aristoteles, yang berjudul Metaphysica. Ungkapan itu dapat kita saksikan, baik dalam diri manusia secara perseorangan, semenjak kecil hingga usia lanjut. Al Ghazali merupakan seorang tokoh yang selalu ingin tahu terhadap segala hal sehingga sifat keingintahuan ini mewarnai hidupnya.
            Sejak kecil Al Ghazali dikenal sebagai anak yang cerdas, mencintai ilmu dan kebenaran sekalipun harus ditempuh dengan duka cita dan kesengsaran. Dalam Al Munqidz  min Adh Dhalal, ia mengisahkan bahwa dirinya harus mencari hakikat kebenaran.[13] Kebiasaan seperti ini sudah menjadi bagian dari aktivitas dan kesenanagan sekaligus merupakan pembawaan dan temperamennya.
            Sifat Al Ghazali menjadi sangat kontras ketika dirinya dihadapkan pada situasi yang ketika itu banyak bermunculan para pemikir kalam, filsafat, dan bathiniah. Masing-masing tokohnya mengklaim sebagai pemegang “hak patent” kebenaran. Dibalik klaim kebenaran yang mereka sebarkan, Al Ghazali justru meragukan kebenaran itu sendiri. Seperti yang kita lihat bahwa keinginannya yang besar mengenai kepastian kebenaran itu telah membawa dirinya dalam suasana keraguan.[14]
            Setelah melihat pertentangan dari berbagai aliran, Al Ghazali melihat besarnya bahaya akibat pertentangan itu. Hal ini karena, jika seseorang mewakili golongan tertentu memenangkan perdebatan, untuk selanjutnya golongan itu dianggap benar dan harus diikuti. Kalau begitu, apakah orang harus puas dengan meniru atau taklid kepada golongan yang mereka yakini akan menyelamatkan jiwa mereka?. Atau apakah ia mesti berani menanggung resiko karena membiarkan umat dalam kesesatan?, pertanyaan ini yang selalu menghantui jiwa Al Ghazali.
            Penerobosan Al Ghazali terhadap aqidah warisan dan keterbatasannya dari taklid terjadi setelah ia mempelajari ‘Ulum al Aqliyah (ilmu-ilmu logika) dari Al Juwaini. Ini terbukti karena setelah mempelajari ilmu logika, ia mempunyai kecendrungan rasional, terutama setelah ia sendiri menyusun kitab Mi’yar Al ‘Ilmi. Konsekuensi logisnya, di dalam kitab Al Iqtishad fi Al I’itiqad ia memperlihatkan ketergantungan syara terhadap akal. Proposisi-proposisi yang menyejukkan keberadaan syara bergantung kepada akal telah dikembangkan oleh Al Ghazali. Contohnya tentang adanya Tuhan, seperti yang ditulisnya dalam Al Iqtishad fi Al I’itiqad.[15]
            “Dalil tentang adanya Allah, kekuasaan-Nya, kehendak-Nya, dan ilmu-Nya            sesungguhnya ditetapkan oleh akal.”

Penempatan akal pada posisi yang tinggi ini kemudian membuat Al Ghazali merasa terhimpit oleh kesangsian (syak). Kesangsian itu muncul akibat kesenjangan antara yang ditangkap indera dengan kenyataan.
            Al Ghazali mencari kepastian kebenaran tersebut melalui persepsi inderawi sehingga ia tidak lagi mempercayai pancainderanya. Penglihatan, sebagai indera paling kuat misalnya, penglihatan dapat mempersepsi bahwa bintang-bintang di langit sangat kecil, tetapi ilmu geometri berbicara bahwa bintang-bintang lebih besar dari pada bumi. kenyataan ini mengisyaratkan adanya ketidakpastian dari kebenaran yang ditangkap oleh inderawi.
            Al Ghazali merasa perlu untuk mengetahui hakikat segala sesuatu. Al Ghazali menyimpulkan bahwa ia harus memulai dari hakikat ilmu. Sesuai dengan titik tolaknya semula, yakni “kebenaran” Ilmu yang dicari Al Ghazali adalah ilmu yang diyakininya “benar” (al ‘ilm al yaqin). Tingkat kebenarannya menunjukkan tidak ada keraguan atau kemungkinan salah sama sekali, seperti kepastian adanya kematian bagi makhluk hidup, atau kebenaran sepuluh lebih besar daripada tiga. Tingkat kebenaran seperti itulah yang dicarinya.
            Untuk menemukan tingkat kebenaran ini, setelah tidak menemukannya melalui inderawi, Al Ghazali memakai akal sebagai pisau analisisnya. Namun, kepercayaannya terhadap akal goncang kembali ketika ia memikirkan dasar yang membuat akal menjadi dipercaya. Kalau memang ada dasarnya, dasar itulah sesungguhnya yang harus lebih dipercaya. Al Ghazali tidak menemukan dasar itu secara faktual, ia beranggapan, karena dasar itu tidak dapat dibuktikan secara faktual, berarti dasar itu sesungguhnya bersifat suprarasional.
            Kemudian Al Ghazali berpikir untuk mencoba memecahkan sumber kebenaran yang suprarasional itu dengan pendekatan tasawuf. Berkat ilmunya tentang tasawuf yang pernah ia pelajari dulu, ia mencoba mengulang kembali memori kesufiannya. Dari memori itu, ia berpendapat bahwa sesungguhnya ilmu suprarasional itu ada di dunia ini. kalau tidak ada, berarti ilmu itu baru dapat diketahui setelah mati. Disinilah Al Ghazali mengalami puncak kesangsian yang sangat serius, sekaligus berada di jalan buntu. Dalam kebuntuan itu ia berpendapat bahwa tidak ada lagi sumber ilmu yang dapat dipercaya.
            Keadaan ini membuat Al Ghazali menderita goncangan jiwa selama dua bulan tanpa penyelesaian. Di saat genting seperti itu, tiba-tiba ia mendapat inspirasi berupa nur dari Allah yang masuk kedalam hatinya. kemudian ia merasa sehat kembali seperti sedia kala, dan merasa telah menemukan jawaban atas apa yang dicarinya. Setelah kejadian istimewa itu, dia kembali menjalani hidup bersama sanak keluarganya.
            Gambaran tentang petualangan panjang Al Ghazali, yang penuh liku-liku itu, dapat difahami bahwa kesungguhan (mujahadah) akan membuahkan hasil yang sempurna. Kecerdasan intelektual tidak akan terbentuk tanpa adanya benturan-benturan pemikiran atau dengan kata lain proses dialektika yang bergejolak dalam alam pikiran manusia dengan memiliki rasa keingin tahuan yang tinggi.

C. Al Ghazali Dan Pemikiran Islam
1.      Pandangan dan Kritik Al Ghazali Terhadap Ilmu Kalam.
Al Ghazali melihat bahwa Ilmu Kalam telah menyimpang dari tujuan asalnya. Berbicara mengenai pertumbuhan ilmu kalam ia melihat bahwa al Qur’an dan Sunnah telah mengandung aqidah yang benar, tetapi ada sebagian manusia yang menyimpang dari ajaran ini dan menciptakan hal-hal baru dalam aqidah yang bertentangan dengan Sunnah. Sehingga, hampir-hampir mengaburkan aqidah yang benar. Maka, Allah memunculkan sekelompok Mutakallimin untuk menolong aqidah dengan kalam yang sistematis, dan menyingkap kepalsuan-kepalsuan para penyeleweng. Inilah tujuan ilmu kalam menurut Al Ghazali.[16]
Dalam menetapkan kesalahan-kesalahan ilmu kalam, Al Ghazali berpijak kepada argumentasi-argumentasi mereka sendiri. Kemudian Al Ghazali melihat ilmu kalam telah menyimpang dari tujuan, ia dengan sendirinya mencari usaha untuk menetapkan aqidah-aqidah agama dengan argumentasi-argumentasi yang didapat dari hasil perdebatan dengan para penyeleweng. Padahal argumentasi-argumentasi ini hanya patut menyerang kebathilan para penyeleweng dan untuk menetapkan aqidah-aqidah agama.
Al Ghazali melihat bahwa bahaya yang ditimbulkan ilmu kalam lebih besar dibandingkan manfaatnya. Hal ini karena ilmu itu lebih banyak mengeluarkan premis-premis yang memperumit dan menyesatkan, ketimbang menjelaskan dan menguraikannya secara jelas. Al Ghazali juga mengemukakan bahwa para teolog tidak mampu mencapai ilmu yang benar, karena melalui metode ilmu kalam saja, manusia tidak mengenal Allah secara hakiki.
Oleh karena itu, menurut pandangan Al Ghazali, ilmu kalam harus didudukkan pada posisi yang sebenarnya dan berjalan sesuai dengan tujuan semula, yakni membantah penyeleweng dan pembangkit syubhat. Mereka itu pasien, dan ilmu kalam merupakan obatnya.
Dalam mengkritik ilmu kalam Al Ghazali telah meletakkan landasan yang fundamental, yaitu metode yang benar untuk mengurai masalah-masalah aqidah dan dalil-dalilnya, seperti metode al Qur’an. Karena al Qur’an mengandung dalil-dalil dan argumentasi-argumentasi logis, yang cukup untuk menerangkan aqidah. Maka Al Ghazali menegaskan bahwa argumentasi-argumentasi logis bagi akal dan fitrah yang sehat.
 Dalil-dalil al Qur’an merupakkan makanan yang bisa dimanfaatkan oleh semua orang. sedangkan dalil-dalil mutakallimin bagaikan obat yang berguna bagi minoritas dan berbahaya bagi mayoritas mereka. Al Ghazali dalam bukunya Iljamu al Awam ‘an  ‘Ilmi al Kalam[17] memberikan solusi untuk tidak mempelajari ilmu kalam, kepada orang-orang awam dengan mengatakan;
"Íقيقة مذهب السلف وهو الحق عندنا ان كل من بلغه حديث من هذه الاحاديث من عوام الخلق يجب عليه فيه سبعة أمور التقديس, ثم التصديق, ثم الاعترف بالعجز, ثم السكوت, ثم الكف, ثم الامساك, ثم التسليم, لاهل المعرفة"
“Pada kenyataannya Madzhab Salaf adalah yang benar menurut kami. Bahwasanya siapapun yang telah sampai kepadanya suatu pernyataan dari seluruh pernyataan itu disebabkan karena keawamannya, maka wajiblah atasnya dalam hal itu tujuh perkara, yakni al Taqdis (penyucian), al Tashdiq (pembenaran), al I’tiraf bi al ‘Ajzi (mengaku lemah/ketidaktahuan), al Sukut (diam/tidak menanyakan), al Kaffu (menahan), al Imsak (mengekang), al Taslim li ahl al Ma’rifah (menyerahkan kepada ahli ma’rifah)”.
Berdasarkaan pemaparan di atas dapat dipahami bahwa Al Ghazali tidak sepenuhnya melarang untuk mempelajari ilmu kalam. Hanya saja Al Ghazali menempatkan ilmu kalam pada posisi yang sebenarnya untuk membantah para  penyeleweng dan ahli syubhat, dengan tidak cukup dengan ilmu kalam saja. Karena melalui metode ilmu kalam saja, seseorang tidak akan mengenal Allah secara hakiki.

2. Pandangan dan Kritik Al Ghazali Terhadap Filsafat
            Filsafat Yunani yang tersebar di zaman Al Ghazali hampir menggoncangkan iman. Para cendikiawan menerima tanpa menyeleksi, mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan. Dalam bidang filsafat, Al Ghazali menentang kecendrungan para filosof pada masanya dan mengecam mereka. Kecaman keras yang dilancarkan Al Ghazali ini karena adanya kenyataan bahwa ajaran-ajaran filosof pada masa itu membahayakan aqidah.
Melihat keadaan ini, ia mengarang buku yang berjudul Maqashid Al Falasifah, yang menjelaskan pemikiran-pemikiran filsafat. Buku itu ditujukan untuk memahami filsafat dan kemudian mengkritiknya. Adapun tentang kritikannya terdapat dalam Tahafut Al Falasifah, terdapat dua puluh kritikan Al Ghazali mengenai filsafat yang dibagi kepada dua bagian besar. Tiga di antarannya dikatakan kafir dikarenakan bertentangan dengan Ushul al Din. Sedangkan tujuh belas lainnya dinyatakan bid’ah, karena berhubungan dengan furu’iyah diniyah yang tidak berlandaskan kepada dalil yang dibenarkan.[18]Alasan yang mendorong untuk menulis karya ini adalah menculnya kelompok pemikir yang cendrung menanggalkan keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar ritual serta menganggapnya tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka.
            Dalam bidang filsafat ini, Al Ghazali tidak menolak semua paham filsafat. Ia tetap mengakui kuatnya landasan matematika dan logika yang dimiliki para filosof, tetapi hal itu tidak untuk ilmu ketuhanan atau ilmu metafisika. Menurut Al Ghazali ilmu metafisika tidak dapat dicapai dengan akal belaka. Lebih lanjut, menurut Al Ghazali para filosof tidak konsekuen dalam menggunakan rasio. Sebab, setelah menetapkan syarat-syarat berfikir benar dan logis, mereka tidak memakainya pada teologi. Para filosof telah memaksakan rasio dalam segala hal, malah bila perlu mengorbankan aqidah.[19]
            Ketika melihat bahwa filsafat tidak mampu mengungkapkan ilmu metafisika, ditambah lagi dengan kerancuan dalil-dalil yang mereka gunakan. Al Ghazali meninggalkan filsafat setelah mengkritiknya lewat  Tahafut al Falasifah, kemudian ia mendalami faham-faham kaum Bathiniah.[20]
            Jadi, pada prinsipnya Al Ghazali tidak menolak faham-faham filsafat secara keseluruhan. Ia hanya menolak keyakinan para filosof yang mengklaim bahwa argumentasi rasional merupakan satu-satunya alat untuk membuktikan kebenaran metafisik.

3. Pandangan dan Kritik Al Ghazali Terhadap Kebathinan
            Berlawanan dengan para filosof yang menggunakan rasio sebebas-bebasnya maka kaum bathiniah tidak mengakui peranan rasio. Mereka hanya mau menerima realitas-realitas dari imam yang ma’shum (terpelihara dari dosa), yang menurut mereka selalu ada pada setiap masa. Mereka mengokohkan teori pengajaran dengan argumentasi kaum skeptis, yang mengatakan bahwa rasio hanya mengantarkan manusia pada pendapat atau teori-teori kontradiktif. Menurut mereka satu-satunya metode yang benar dalam memahami ilmu adalah metode pengajaran dari imam ma’shum.[21]
            Perlu diakui bahwa pada dasarnya Al Ghazali sependapat dengan kaum bathiniah yang berpendapat, pemberi informasi (al Mu’allim) harus bersifat ma’shum. Akan tetapi menurut Al Ghazali hal itu hanya terbatas pada tingkat Nabi. Setelah Nabi, orang tidak memerlukan imam yang ma’shum lagi, sebab Allah melalui kitab suci-Nya telah memberikan ukuran (mizan) dan alat untuk mengetahui kebenaran kepada manusia. Ia menyebutkan dengan al Qisthas al Mustaqim,[22] yang menurut Al Ghazali tidak diperoleh dari imam ma’shum, tetapi dari al Qur’an. Al Ghazali menilai kaum Bathiniah selain menyembunyikan tujuan-tujuan politis, mereka juga mengakui ajaran-ajaran dan interpretasi bathini mereka, atas ajaran-ajaran al Qur’an, yang akhirnya menyebabkan mereka tidak mau mengakui al Qur’an.[23]
            Adapun usaha Al Ghazali dalam memerangi golongan Bathini pada masanya, tampak pada karangannya yang berjudul Fadhaaihu al Bathiniah (kepalsuan-kepalsuan aliran kebathinan). Al Ghazali juga menyebutkan bahwa ia juga mengarang kitab-kitab lain dalam menyanggah aliran kebathinan, namun tetap saja aliran ini mempunyai banyak pengikut sampai sekarang.[24]
            Jadi, Al Ghazali tidak setuju dengan pendapat-pendapat maupun metode-metode kaum Bathiniyah. Salah satunya adalah yang menyatakan bahwa satu-satunya metode yang benar dalam memahami ilmu adalah metode pengajaran dari imam ma’shum. Sehingga dalam hal ini Al Ghazali lebih cendrung memerangi pemikiran Bathiniyah tanpa berkecimpung didalamnya.

4. Pandangan dan Kritik Al Ghazali Terhadap Tashawuf
            Setelah rampung mengkritik para ulama kalam, filosof dan kaum Bathiniah, Al Ghazali mulai mengkaji tashawuf. Pengkajiannya terhadap tashawuf dimulai melalui pengkajian karya-karya kaum shufi.[25] Sehingga Al Ghazali sendiri dianggap sebagai tokoh tashawuf dalam Islam, bahkan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa tashawuf itu bagi Al Ghazali merupakan ilmunya yang paling tinggi dan dengannya ia menjadi tersohor.[26]
            Dalam memahami tasawuf, Al Ghazali tidak terbatas pada ajaran-ajaran teoritis belaka, tetapi juga dalam praktik atau pengalaman nyata. Sekalipun Al Ghazali menerima tasawuf secara totalitas, tetapi ia telah melontarkan kritik tajam terhadap berbagai masalah dalam tashawuf. Antara lain yang tersebut dalam kitabnya Al Maqshadul Asna, bahwa sebagian shufi memahami yang dimaksudkan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah adalah hulul (menunggalnya hamba dengan Tuhan).
            Dalam kitab Ihya’ Al Ghazali menyebutkan beberapa kelompok shufi yang menyeleweng. Diantara  penyeleweng-penyeleweng itu adalah menenggelamkan diri terhadap ibadah-ibadah palsu dan berpakaian kumuh, juga terjurumusnya mereka dalam ‘Ibahiyah (menyangka bahwa sekalipun lahirnya mereka mengikuti hawa nafsu, tetapi hatinya penuh rasa cinta pada Allah). Termasuk di antara penyeleweng itu adalah anggapan bahwa jiwa manusia dapat mencapai tingkatan yang tidak lagi memerlukan ibadah badaniyah, juga ungkapan-ungkapan kosong dan kalimat-kalimat tak berarti untuk menerangkan macam-macam latihan jiwa yang tak ada artinya.[27]
            Al Ghazali menegaskan bahwa cahaya kenabian mustahil didapat oleh sufi yang terkenal dengan keganjilan atau keekstriman konsep-konsepnya. Ia mengambil contoh ungkapan keganjilan yang dibawakan oleh Al Hallaj; “Aku yang Maha Besar” atau ungkapan Abu Yazid Al Busthami; “Maha Suci Aku” karena mengaku “MahaSuci” mereka merasa tidak perlu lagi syari’at Islam, inilah yang dikatakan nihilisme syariat.[28]
            
D.    Kesimpulan
Uraian di Atas telah memberikan sebuah gambaran proses dialektika pemikiran Al Ghazali yang lebih tertuju pada penelaahan ilmu pengetahuan. Penelaahan itu dimulai melalui petualangan panjang yang dimulai dengan keingintahuannya terhadap ilmu pengetahuan, yang menjadi dasar “kebenaran”.Upaya mencari kebenaran ilmu pengetahuan menjadi sebuah kinerja yang harus dilakukan secara benar dengan metodologi keilmuan yang gradual. Atas dasar inilah kajian ilmu Al Ghazali menjadi sebuah disiplin ilmu yang mempunyai daya tarik sendiri untuk dikaji oleh para penulis baik muslim maupun non muslim.
Sebagai pemikir besar Islam, maka pemikiran Al Ghazali menjadi warisan umat islam meskipun sepuluh abad berlalu. Kebesaran pengaruhnya dapat dilihat dari gelar Hujjat al Islam yang disandangnya, serta berbagai pujian yang dilontarkanoleh penulis dan pemikir kepadanya.Nalar rasionalisme AlGhazali sangat  dilatar belakangi oleh semangat dan ambisiusnya dalam mengeksplorasi berbagai literatur keislaman. Sebuah kritikan yang dilontarkannya menandai sebuah hal yang mengindikasikan usaha pemahaman yang telah dimiliki oleh Imam Al Ghazali.
Kondisi perang ideologi pemikiran pada masa Al Ghazali adalah masa yang sangat parah. Hal ini dilatarbelakangi oleh kebiasaan yang saling mengklaim benar masing-masing ideologi. Kondisi inilah, yang membangkitkan spirit Al Ghazali untuk mengeksplorasi berbagai bidang diskursus keilmuan yang obyektif dan akuntebel. Hingga tak jarang melahirkan kritikan yang beragam dari Al Ghazali terhadap wacana keilmuan yang berkembang pada kala itu ketika ia menjumpai berbagai hal yang menurutnya tidak bisa diterima dengan nalar rasio dan nash syar’i.

DAFTAR PUSTAKA

Al Ghazali, Al Munqidz  Min Al Dhalal, Beirut: Maktabat al Haqiqah, 2005.
_________, Ihya ‘Ulumuddin juz I, Beirut: Dar Al Fikr, 1995 M/1415 H.
_________, Iljamul ’Awam ’an ’Ilm al Kalam, Istanbul: Maktabah al Haqiqah, 2005.
_________, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin, ditrjemahkan oleh Fdhailurrahman, Aida Humaira, Jakarta: SAHARA Publisher, 2009.
_________, Tahafut al Falasifah, Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 2003 M/1424 H.

Al Tafzani,Abu Wafa’, Al Ghanimi, Tasawuf Islam Telaah Historis Dan                             Perkembangannya, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008.
Anwar, Syaiful, Filsafat Ilmu Al Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
M. Said, Busthami, Pembaharu Dan Pembaharuan Dalalm Islam, Ponorogo: PSIA Pusat Studi Ilmu dan Amal), 1992.
Massimo Companini, History Of Islamic Philoshofy, diterjemahkan oloeh Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003.
Muzai, Syaiful, ed., Islam  Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Prof. DR. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995.
Muhammad Abdul Mujieb, Syafia’ah, Ahmad Ismai’il, Tasawuf Al Ghazali, Jakarta: Mizan, 2009.
Muhammad Hisyam Kabbani, Syekh, Ensiklopedia Aqidah Ahlussunah Tasawuf dan Ihsan Antivirus Kebathilan dan Kezhaliman, Jakarta: Serambi, 2007.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakart: Gaya Media Pratama, 1999.

Sholihin,M, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al Ghazali, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001.
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Supriayadi, Dedi, Fiqih Bernuansa Tasawuf Al Ghazali, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
_____________, Pengantar Filsafat Islam, Konsep Filsuf, dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009.





[1] M. Sholihin, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al Ghazali, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), hlm. 9. Lihat juga: Dedi Supriayadi, Fiqih Bernuansa Tasawuf Al Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 23.
[2] Dari satu sisi Al Ghazali dipandang sebagai penjelma hadits Nabi yang menyatakan bahwa pada setiap abad, Allah akan mengutus seorang hamba-Nya untuk menghidupkan keimanan umat Islam. Di sisi lain Al Ghazali diklaim sebagai orang yang “tersesat” dan “biang keladi” kemunduran pemikiran Umat Islam, dengan Tahafut Al Falasifah-nya yang mengakibatkan filsafat hampir tidak didengar dalam dunia Islam. Ditambah lagi dengan tasawuf-nya  yang lebih mengutamakan aspek rasa (dzauq) dan penyingkapan (kasyf), dari pada pemikiran ilmiah yang kritis. Akan tetapi Henry Cobin, ilmuwan Perancis menyangkal jika Al Ghazali sebagai penyebab kemunduran umat Islam. Ia beralasan bahwa filsafat setelah Al Ghazali, berpindah ke dunia Barat. Ia juga berpendapat bahwa tidak benar orang yang mengklaim bahwa filsafat tidak bangkit setelah mendapat pukulan dari Al Ghazali. (Ibid., Lihat juga: Syaiful Muzai, ed., Islam  Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Prof. DR. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 383.
[3] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 72-75.
[4] M.Sholihin, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 20.
[5] Ibid.
[6] Dedi Supriyadi , Pengantar Filsafat Islam, Konsep Ilmu dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia: 2009), hlm. 146.
[7] M.Sholihi, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al Ghazali, op.cit., hlm. 22.
[8] Imam Al Ghazali, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin, ditrjemahkan oleh Fdhailurrahman, Aida Humaira, (Jakarta: SAHARA Publisher, 2009), hlm. 7.
[9] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: pustaka Setia, 2007 M/1428 H), hlm. 73-74.
[10] Ibid., hlm. 22. Lihat juga: Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2002), hlm. 79.
[11] M. Sholihin, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandangan Al Ghazalli op.cit., hlm .23-24.
[12] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hlm. 72-73.
[13] M. Sholihin, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandangan Al Ghazalli op.cit., hlm .28.
[14] Ibid,-
[15] Ibid., hlm.29.
[16] Busthami M. Said, Pembaharu dan Pembaharuan Dalam Islam, op.cit.,hlm 81-82.
[17] Al Ghazali, Iljamul ’Awam ’an ’Ilm al Kalam, (Istanbul: Maktabah al Haqiqah, 2005), hlm. 4.
[18] Al  Ghazali, Tahafut al Falasifah, (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 2003 M/1424 H), hlm.21-23. Lihat juga: Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Konsep Filsuf, dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm.160.
[19] Lebih jauh Al Ghazali mengemukakan bahwa uraian yang benar tentang filsafat Aristoteles dalam kalangan bangsa Arab hanyalah uraian Al Farabi dan Ibnu Sina, karena filosof  Arab lainnya, ketika itu baru mengenal Aristoteles lewat komentar Neo-Platonisme. Lihat: M. Sholohin, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al Ghazali, op.cit., hlm. 25.
[20] Al Ghazali, Al Munqidz  Min Al Dhalal, (Beirut: Maktabat al Haqiqah, 2005 M/ 1424 H), hlm. 28.
[21] Massimo Companini, History Of Islamic Philoshofy, diterjemahkan oloeh Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 323.
[22] Ada lima ukuran yang terkandung dalam  al qisthas al mustaqim, yaitu at ta’adul al ashgar (keseimbangan terkecil),  at ta’adul al akbar (keseimbangan terbesar), at ta’adul al asusath (keseimbangan menengah), al talazum (kemestian), dan at ta’nud (berlawanan). Lihat: M. Sholihin, Epistemologi Ilmu dalam Sudut Pandang Al Ghazali, op.cit., hlm. 26.
[23] Kelompok-kelompok Bathini yang terkenal adalah: Isma’iliyah, Qaramthihah, Babiqiyah, Dzuuz, Nashiriyah. kelompok yang terkuat adalah Isma’iliyah karena telah mendirikan daulah fathimiyah (296 H) dan meluaskan pengaruhnya sampai ke Afrika Utara, Mesir, Syam, Yaman, dan tetap berdiri sampai tahun 544 H. Lihat: Busthami. M. Said, Pembaharu Dan Pembaharuan Dalalm Islam, (Ponorogo: PSIA (Pusat Studi Ilmu dan Amal), 1992), hlm. 85.
[24] Sisa-sisa Isma’iliyah terdapat di Thojakistan, suriah, Pakistan, Syam, dan Turki. Lihat: Busthami. M. Said, Pembaharu Dan Pembaharuan Dalalm Islam, loc.cit.
[25] Seperti kitab Qut Al Qulub karya Al Makki, kitab Al Muhasibi, Al Mutafarriqat Al Mas’sur karya Al Junaidi, karya-karya As Syibli, dan karya-karya Abu Yazid Al Busthami. Lihat: M. sholihin, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al Ghazali, op.cit., hlm.26.  
[26] Al Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin juz I,(Beirut: Dar Al Fikr, 1995 M/1415 H), hlm. 9.
[27] Busthami,M. Said, Pembaharu Dan Pembaharuan Dalam Islam, op.cit., hllm. 90.
[28] Nihilisme yang dimaksud disini adalah faham yang dibawa oleh sebagian shufi yang merasa tidak memerlukan syariat lagi, karena meurut sebagian mereka, syariat hanya diperuntukkan bagi orang-orang awam yang jauh dari Allah, sedangkan kaum shufi merasa jiwanya sudah suci dan dekat dengan Allah. (Busthami M. Said. loc.cit).

1 komentar:

  1. Assalamualaikum, saya penasaran dengan kitab Asrar al Muamalat al Din. Dimana saya bisa dapatkan, saya coba searching tapi belum ketemu, ditoko kitab juga belum nemu. Mohon bantuannya.

    BalasHapus