Jumat, 25 Mei 2012

Persepsi


A.    PENDAHULUAN
            Dalam berkomunikasi kita biasa memilih sebagian pesan yang terkandung dalam pernyataan lawan komunikasi kita untuk kita tanggapi dan mengabaikan pesan-pesan atau bagian-bagian pesan lainnya. Hampir semuan bentuk komunikasi sesungguhnya memang kompleks atau rumit, sehingga sadar atau tidak sadar, kita cendrung memilih apa atau mana yang kita persepsikan dan kita tanggapi. Persepsi/penafsiran kita, terhadap pesan-pesan yang kita terima dari orang lain selalu kita perlakukkan masih bersifat tentatif atau sementara, sampai mendapatkan konfirmasi atau dibenarkan oleh lawan bicara kita.
[1]
            Persepsi ini merupakan proses kognitif yang kompleks yang dapat memberikan gamabaran yang unik tentang dunia yang sangat berbeda dengan realitasnya. Pengenalan adanya perbedaan antara dunia dalam persepsi dan dunia dalam kenyataan, penting artinya dalam konsep komunikasi interpersonal. Kita sering menyalahartikan hubungan antara persepsi dengan sensasi indra fisik kita yang biasanya meliputi penglihatan, pendengaran, perabaan, pembauan dan cita rasa (panca indra), kadang-kadang ditambah indra ke enam. Kelima indra kita selalu dibombardir dengan berbagai stimulan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam tubuh.
            Contoh stimulan yang datang dari luar adalah gelombang cahaya, gelombang suara, tekanan energi mekanik, dan energi kimia dari beberapa objek yang bisa dibau dan dirasakan. Stimulasi yang datang dari dalam termasuk energi yang dihasilkan oleh otot, makanan yang melewati sistem pencernan, dan hormon-hormon yang mempengaruhi perilaku yang dikeluarkan oleh kelenjar-kelenjar hormon. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa sensasi itu terutama berhubungan dengan perilakuyang sangat elementer, yang sebagian besar ditentukan oleh fungsi fisiologis. Dengan cara ini manusia menggunakan panca indranya untuk warna, penerangan cahaya, bentuk kekerasan, suara, panas, bau dan rasa makanan, obat-obatan, atau zat-zat tertentu.[2]
Untuk itu, makalah ini akan mencoba untuk mengurai permasalahan yang berkaitan dengan persepsi yang lebih difokuskan terhadap pemahaman tentang persepsi itu sendiri. Oleh karenanya, dalam makalah ini akan diurai mengenai definisi Persepsi, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi, Pengaruh Persepsi dalam Penilaian, serta kekeliruan dan kegagalan persepsi. Sehingga diharapkan kita akan mendapatkan pemahaman yang holistik. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh para ahli ilmu bahwa seseorang tidak akan memahami sesuatu hal yang spesifik, jika belum mamahami sesuatu yang bersifat umum.

B.     PERSEPSI
            Pada bagian ini akan diuraikan beberapa hal-hal yang umum mengenai persepsi, diharapkan pada bagian ini pembaca mampu memahami persepsi dengan sebaik-baiknya. Karena persepsi sangat penting dalam komunikasi bahkan diungkapkan oleh Dedi Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi Sebagai Pengantar bahwa persepsi adalah inti dari komunikasi.[3]

1. Definisi Persepsi      
            Persepsi jauh lebih kompleks dan luas daripada sensasi. Proses persepsi melibatkan interaksi yang kompleks dari seleksi, dan interpretasi. Meskipun persepsi sebagian besar tergantung pada objek-objek pancaindra sebagai data kasar, proses kognitif dapat memfilter, memodifikasi, atau mengubah sama sekali data ini. Ilustrasi yang sederhana ini dapat disebutkan disini dengan memperlihatkan objek yang tidak bergerak pada satu sisi, umpamanya patung atau pohon. Dengan menggerakkan mata secara perlahan ke sisi lain dari objek tersebut bergerak. Tetapi, orang tersebut tetap berpersepsi bahwa objek itu tidak bergerak.[4]
            Untuk memudahkan kita dalam memahami persepsi maupun sensasi akan kami paparkan beberapa contoh berikut. Anda melihat kawan anda sedang melihat-lihat etalase toko. Anda menyergapnya dari belakang, “bangsat loe, udah lupa sama aku ya!” orang itu membalik, anda terkejut. Ia bukan teman anda, tetapi orang yang tidak pernah anda kenal seumur hidup anda. Ini bukan kesalahan persepsi tapi ini adalah kekeliruan sensasi. Bila dosen mengucapkan “bagus”, tetapi anda mendengar “Agus”, anda keliru sensasi. Tetapi bila saya mengucapkan “anda cerdas sekali” lalu Anda menerima pujian saya dengan marah, karena anda kira saya mempermainkan Anda, Anda salah mempersepsi pesan saya.[5]
            Dalam pembahasan definisi persepsi ini terdapat beberapa pendapat para pakar komunikasi, yang dapat dijadikan dasar dalam memahami makna persepsi. Sebagaimana diungkapkan oleh Desiderato (1976) bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.[6] Robbins (1993), Persepsi didefinisikan sebagai proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan impresi sensorinya supaya dapat memberikan arti kepada lingkungan sekitarnya.[7]
            Kedua definisi diatas telah cukup memberikan pemahaman secara deskriptif terhadap makna persepsi, meskipun masih banyak definisi-definisi yang lain yang tidak dicantumkan dalam tulisan ini. Inti dari kedua  definisi di atas tidak jauh berbeda, hanya saja definisi pertama lebih menekankan pada pengalaman suatu objek, sedangkan kedua lebih menekankan persepsi sebagai proses. Namun dari kedua definisi, dapat  disimpulkan bahwa inti dari persepsi adalah penafsiran (interpretasi).
            Hal ini tampak pada definisi John R. Wenburg dan William W. Wilmot: “persepsi didefenisikan sebagai cara organisme memberi makna”.[8] Rudolph F. Verderber: “persepsi adalah proses menafsirakan informasi inderawi“[9] atau J. Cohen: “persepsi didefinisikan interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representatif objek eksternal; persepsi adalah pengetahuan yang tampak mengenai apa yang diluar sana”.[10] Jadi persepsi merupakan proses pengorganisasian dan penginterpretasian terhadap stimulus organisme atau individu sehingga didapat sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
            Sejumlah faktor dapat berpengaruh dalam memperbaiki atau kadang-kadang mendistorsi persepsi kita. Faktor-faktor ini dapat terletak pada pelaku, objek/target persepsi, dan dalam konteks situasi dimana persepsi itu dibuat.
  • Pelaku Persepsi
            Jika seseorang melihat target dan mencoba untuk memberikan interpretasi tentang yang dilihatnya, intepretasi tersebut sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadinya (masing-masing pelaku persepsi). Sebelum membeli mobil merek tertentu Anda tidak pernah manaruh perhatian pada jumlah mobil merek tersebut di kota Anda. Tetapi, begitu membeli mobil tersebut, Anda mulai menghitung setiap mobil dengan merek sama yang lewat di depan Anda, seolah-olah jumlahnya bertambah banyak. Hal ini merupakan contoh bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaku persepsi akan mempengaruhi persepsi terhadap objek tertentu. Beberapa karakteristik pribadi yang dapat mempengaruhi persepsi diantaranya adalah sikap, motif, interest, pengalaman masa lalu, dan ekspektasi. [11]
  • Target persepsi
            Karakteristik dalam target persepsi yang sedang diobservasi mempengaruhi segala hal yang dipersepsikan. Orang-orang dengan suara keras akan lebih diperhatikan daripada mereka yang relatif pendiam. Demikian juga mereka yang sangat menarik dan yang tidak sangat menarik. Seperti yang dikatakan di muka, gerakan, suara, ukuran, dan berbagai atribut lainnya dapat memperbaiki cara persepsi objek yang kita lihat sebelumnya. Objek-objek yang letaknya saling bedekatan akan cenderung dipersepsikan sebagai kelompok objek yang tak terpisahkan.
  • Situasi
            Elemen-elemen dalam lingkungan sekitar dapat mempengaruhi persepsi kita. Anda mungkin tidak akan memperhatikan seorang gadis cantik dengan gaun petang yang menyolok dan ber-make-up di sebuah kelab malam. Tetapi, jika gadis yang sama dengan gaun dan make up datang ke esokan harinya ke pelaminan, pasti ia akan menarik perhatian Anda dan sebagian besar orang disana. Di sini bukannya, pelaku persepsi maupun target persepsi yang berubah, melainkan situasi yang bebeda.

3. Pengaruh Persepsi dalam Penilaian
            Sekarang kita sampai pada aplikasi yang paling relevan dari konsep persepsi, yaitu teori atribusi (attrubtion theory). Jika kita memperhatikan orang-orang lain, kita mencoba untuk mengembangkan pengertian kita tentang mengapa mereka berperilaku dengan cara-cara tertentu. Oleh karena itu, persepsi dan penilaian kita terhadap tindakan-tindakan mereka akan dipengaruhi secara signifikan oleh asumsi yang kita buat tentang status internal manusia.
            Teori atribusi ini telah diusung untuk mengembangkan penjelasan bagaimana kita menilai orang secara berbeda berdasar pada pengertian yang kita atribusikan kepada perilaku yang diberikan. Dasar teori ini menyarankan bahwa bila kita mengobservasi perilaku seseorang, kita mencoba untuk menetapkan apakah perilaku tersebut dikerjakan karena sebab-sebab internal atau sebab-sebab eksternal. Tetapi, penetapan ini sebagian besar tergantung pada adanya perbedaan, konsensus, dan konsistensi.
            Sebelumnya, kita klarifikasikan dulu perbedaan antara kausa internal dan kausa eksternal kemudian baru lebih jauh menerangkan ketiga faktor yang menentukan itu. Perilaku dengan kausa internal dimiliki oleh individu yang dipercaya bahwa dia di bawah kontrol dirinya sendiri. Di pihak lain, perilaku dengan kausa eksternal dapat dilihat sebagai akibat dari sebab-sebab luar, yaitu individu dipaksa berperilaku demikian karena situasi pada waktu itu. Jika salah seorang mahasiswa Anda, datang terlambat ke tempat belajar (ruang belajar) karena malamnya berpesta dan bergadang menjelang pagi sehingga ketiduran sampai siang, hal ini dapat diaratikan sebagai atribusi/interpretasi internal. Tetapi, jika keterlambatan ini karena ada kecelakaan mobil beruntun sehingga terjadi kemacetan lalu lintas dijalan yang biasa digunakannya, hal ini dapat diartikan sebagai atribusi eksternal.
  • Perbedaan
            Menerangkan apakah seseorang tu memperlihatkan perilaku yang berbeda pada situasi yang berbeda pula. Yang perlu kita ketahui adalah apakah perilakunya itu luar biasa (tidak seperti biasanya) atau tidak. Jika tindakan ini bukan sesuatu yang unik, kemungkinan akan dinilai sebagai atribusi internal.
  • Konsensus
            Jika setiap orang yang dihadapkan pada situasi yang sama merespon dengan cara yang sama, kita dapat mengatakan bahwa perilaku tersebut menunjukkan konsensus. Perilaku mahasiswa yang terlambat bisa dimasukkan dalam kriteria ini jika semua mahasiswa yang mengambil jalan yang sama ke tempat belajar (ruang belajar) juga terlambat. Dari perspektif atribusi, jika konsensusnya tinggi, Anda diharapkan untuk memberikan atribusi eksternal kepada mahasiswa yang datang terlambat. Tetapi, jika para mahasiswa yang mengambil jalan yang sama datang ke tempat belajar tepat pada waktunya, kesimpulan Anda tentang kausa ini menjadi internal.
  • Konsistensi  
            Apakah mahasiswa itu merespon dengan cara yang sama secara terus-menerus? Datang terlambat 10 menit ke tempat belajar (ruang belajar) tidak dipersepsikan sama kalau hal ini merupakan kasus yang luar biasa (dia belum pernah datang terlambat dalam beberapa bulan ini). Tetapi jika hal ini merupakan kebiasaan rutin (secara teratur datang terlambat dua atau tiga kali dalam seminggu), kita cenderung menilai keterlambatan itu sebagai kausa internal.[12]

         4. kekeliruan dan Kegagalan Persepsi
         Pesepssi kita sering tidak cermat, salah satu penyebabnya adalah asumsi atau pengharapan kita. Kita mempersepsikan sesuatu atau seorang sesuai dengan pengharapan kita. Beberapa bentuk kekeliruan dan kegagalan persepsi tersebut adalah sebagai berikut.
·    Kesalah Atribusi
         Atribusi adalah proses internal dalam diri kita untuk memahami penyebab perilaku orang lain. Dalam usaha mengetahui orang lain, ita menggunakan beberapa sumber informasi. Misalnya kita mengamati penampilan fisik mereka, karena faktor-faktor seperti usia, gaya pakaian, dan daya tarik dapat memberikan isyarat mengenai sifat-sifat utama mereka. Namun dugaan kita tidak selalu benar mengenai sifat-sifat mereka. Sering juga kita menajadikan perilaku orang sebagai sumber informasi mengenai sifat-sifat mereka. Kita mengamati perilaku luar mereka, dan kemudian menduga sifat, motif, atau tujuan mereka berdasarkan perilaku tersebut. Akan tetapi cara ini juga tidak selalu membawa hasil.
         Kesalahan atribusi bisa terjadi ketika kita salah menaksir makna pesan atau maksud perilaku si pembicara. Andaikan seseorang menguap, misalnya, apakah ia bosan, ngantuk, capek, cuek, atau khawatir. Ketika seseorang tersenyum, apakah ia ramah, menggoda, menyindir atau sinis. Perbedaan budaya semakin mempersulit kita untuk menaksir maksud seseorang. Atribusi kita juga keliru bila kita menyangka bahwa perilaku seseorang disebabkan oleh faktor internal, padahal justru faktor eksternal-lah yang menyebabkannya, atau sebaliknya.
         Salah satu sumber kesalahan atribusi lainnya adalah pesan yang dipersepsikan tidak utuh atau tidak lengkap, sehingga kita berusaha manafsirkan pesan tersebut dengan menafsirkan sendiri kekurangannya, atau “mengisi” kesenjangan dan mempersepsikan rangsangan atau pola yang tidak lengkap itu sebagai lengkap. Oleh karena itu atribusi juga salah satu faktor yang menentukan kekeliruan dan kegagalan suatu persepsi.

·   Efek Halo
         Kesalahan efek halo (halo effects) merujuk pada fakta bahwa begitu kita membentuk suatu kesan menyeluruh mengenai seseorang, kesan yang menyeluruh ini cendrung menimbulkan efek yang kuat atas penilaian kita akan sifat-sifatnya yang spesifik. Gagasan-gagasan yang dianggap “biasa” bahkan “usang” bila dikemukakan oleh orang awam boleh jadi akan dianggap “brilian” atau “kreatif”. Efek halo ini memang lazim dan berpengaruh kuat sekali pada diri kita dalam menilai orang-orang yang bersangkutan. Bila kita sangat terkesan oleh seseorang, karena kepemimpinannya atau keahliannya dalam suatu bidang, kita cendrung memperluas kesan awal kita. Bila ia baik dalam satu hal, seolah-olah ia pun baik dalam bidang yang lain.
·   Stereotip
         Kesulitan komunikasi akan muncul dari penstereotipan (stereotyping), yakni menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Dengan kata lain, penstereotipan adalah proses menempatkan orang-orang dan objek-objek ke dalam kategori-kategori yang mapan, atau penilaian mengenai orang-orang atau objek-objek berdasarkan kategori-kategori yang dianggap sesuai, alih-alih berdasarkan karakteristik individual mereka. Ringkasnya, stereotip adalah katagerosasi atas suatu kelompok secara serampangan dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual.
         Alfred Schutz menekankan pentingnya pengkategorian orang ini dalam pengalaman kita sehari-hari. Pengkategorian orang lain memang tidak terhindarkan karena manfaat fungsionalnya. Tidak seorang pun dapat merspons orang lain dalam seluruh individualitas mereka yang unik. Sayangnya, pengkategorian itu pada umumnya berlebihan atau keliru sama sekali. Dengan kata lain, steorotif menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu di sekitar kita.
         Pada umumnya, stereotip bersifat negatif. Stereotip ini tidaklah bebahaya sejauh kita simpan dalam kepala kita. Akan tetapi bahayanya sangat nyata bila stereotip ini diaktifkan dalam hubungan manusia. Apa yang Anda persepsi sangat dipengaruhi oleh apa yang anda harapka. Ketika Anda mengharapkan orang lain berperilaku tertentu, Anda mungkin mengkomunikasikan pengharapan Anda kepada mereka dengan cara-cara yang sangat halus, sehingga meningkat kemungkinan bahwa mereka akan berperilaku sesuai dengan harapan Anda.


·  Prasangka
          Suatu kekeliruan persepsi terhadap orang yang berbeda adalah prasangka, suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip. Beberapa pakar cendrung menganggap bahwa stereotip itu identik dengan prasangka. Dapat dikatakan bahwa stereotip merupakan komponen kognitif (kepercayaan) dari prasangka, sedangkan prasangka juga berdimensi perilaku. Jadi prasangka ini konsekuensi dari stereotip, dan lebih teramati daripada stereotip. Menggunakan kata-kata Ian Robertson “pikiran berprasangka selalu menggunakan citra mental yang kaku yang meringkas apapun yang dipercayai sebagai khas suatu kelompok.
          Meskipun kita cendrung menganggap prasangka berdasarkan suatu dikotomi, yakni berprasangka atau tidak berprasangka, lebih bermanfaat untuk menganggap prasangka ini sebagai bervariasi dalam suatu rentang dari tingkat rendah hingga tingkat. Sebagaimana stereotip, prasangka ini alamiah dan tidak terehindarkan. Penggunaan prasangka memungkinkan kita merespon lingkungan secar umum alih-alih secara khas, sehingga terlalu menyederhanakan masalah, budaya dan kepribadian sangat mempengaruhi prasangka. Oleh karena itu cara terbaik untuk mengurangi prasangka adalah dengan meningkatkan kontak dengan mereka dan mengenal mereka lebih baik, meskipun hal ini tidak berhasil dalam segala situasi.
·    Gegar Budaya
          Menurut Kalvero Oberg, gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan karena hilangnya tanda-tanda yang sudah dikenal dan simbol-simbol hubungan social. Lundstedt mengatakan bahwa gegar budaya adalah suatu bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri. Meskipun gegar budaya ini sering dikaitkan dengan fenomena memasuki suatu budaya asing, lingkungan budaya yang dimaksud di sini sebenarnya bisa juga merujuk pada agama baru, lembaga pendidikan baru, lingkungan kerja baru atau keluarga besar baru yang dimasuki lewat perkawinan (mertua, ipar, dan sebagainya).
          Gegar budaya pada dasarnya adalah benturan persepsi, yang diakibatkan pengguanaan persepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam suatu lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum dipahami. Kita tidak langsung mengalami gegar budaya ketika kita memasuki lingkungan budaya yang baru. Gegar budaya ini dalam berbagai bentuknya adalah fenomena yang alamiah saja. Intensitasnya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang pada dasarnya terbagi dua: yakni faktor internal (ciri-ciri kepribadian orang yang bersangkutan) dan faktor eksternal (kerumitan budaya atau lingkungan baru yang dimasuki).
          Jadi tidak ada kepastian kapan gegar budaya ini akan muncul dihitung sejak kita memasuki ssuatu budaya lain. Itu bergantung pada sejauhmana perbedaan budaya yang ada dan apakah kita memiliki kepribadian yang kondusif untuk mengatasi gegar budaya tersebut. Bila perbedaan budaya tidak terlalu besar, dan kita mempunyai kepribadian yang positif, seperti tegar dan toleran, kita mungkin tidak akan mengalami gegar budaya yang berarti, dan begitupun, sebaliknya.

C.     KESIMPULAN
         Manusia sebagai makhluk sosial yang sekaligus juga makhluk individual, maka terdapat perbedaan antara individu yang satu dengan yang lainnya (Wolberg, 1967). Adanya perbedaan inilah yang antara lain menyebabkan mengapa seseorang menyenangi suatu obyek, sedangkan orang lain tidak senang bahkan membenci obyek tersebut. Hal ini sangat tergantung bagaimana individu menanggapi obyek tersebut dengan persepsinya. Pada kenyataannya sebagian besar sikap, tingkah laku dan penyesuaian ditentukan oleh persepsinya.
         Jadi pada hakikatnya persepsi adalah merupakan proses penilaian seseorang terhadap obyek tertentu. Karena persepsi merupakan aktivitas mengindera, mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada stimulus fisik dan stimulus sosial yang ada di lingkungannya. Di dalam proses persepsi individu dituntut untuk memberikan penilaian terhadap suatu obyek yang dapat bersifat positif/negatif, senang atau tidak senang dan sebagainya. Dengan adanya persepsi maka akan terbentuk sikap, yaitu suatu kecenderungan yang stabil untuk berlaku atau bertindak secara tertentu di dalam situasi yang tertentu pula.







DAFTAR PUSTAKA

Fisher, Aubrey dan Kathrine L. Adams. Interpersonal Communication: Pragmatic of Human
 Relationship, New York: Mc Graw-Hill, 1994.

Littlejohn, Stephen W dan Karen A. Foss,  Theories of  Human Communication, 9 th ed.
Diterjemahkan Mohammad Yusuf Hamdan, Jakarta: Salemba Humanika, 2009.

Muchlas, Makmuri, Perilaku Organisasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008.

Mulyana, Dedi, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar,  Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

Pace, R. Wayne dan Don F. Faules, komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja
            Perusahaan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.

Rakhmat, Jalaludin, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.

Supratiknya,A,  komunikasi Antarpribadi Tinjauan Psikologis, Yogyakarta: Kanisius 2006

Tubbs, Stewart L dan Sylvia Moss, Human Communication Prinsip-Prinsip Dasar, Bandung:
Remja Rosdakarya, 2001.

Verderber, Rudolph F, Communicate! Belmont, California: Wadsworth, 1978.

Wenburg, John R dan William W. Wilmot, The Personal Communication Process. New York:
John Wiley & Sons, 1973.



[1] A. Supratiknya, komunikasi Antarpribadi Tinjauan Psikologis, (Yogyakarta: Kanisius 2006), hlm. 45-46.
[2] Makmuri Muchlas, Perilaku Organisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), hlm.111-112.
[3] Dedi Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar,  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 167.
[4] Ibid.
[5] Hubungan persepsi dengan sensasi sudah jelas, sensasi adalah bagian dari persepi. Persepsi, seperti juga sensasi, sama-sama ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional. Lihat: Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 51.
[6] Ibid.
[7]Makmuri Muchlas, loc.cit.
[8] John R. Wenburg dan William W. Wilmot, The Personal Communication Process. (New York: John Wiley & Sons, 1973), hlm. 113.
[9] Rudolph F. Verderber. Communicate! Belmont, (California: Wadsworth, 1978), hlm. 22.
[10] B. Aubrey Fisher dan Kathrine L. Adams. Interpersonal Communication: Pragmatic of Human Relationship, (New York: Mc Graw-Hill, 1994), hlm. 55. lihat juga: Dedi Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar,  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 167.
[11] Makmuri Muchlas, Perilaku Organisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), hlm. 122.
[12]Berdasarkan teori konsistensi dijelaskan bahwa orang lebih nyaman dengan konsistensi daripada inkonsistensi. Lihat: Makmuri Muchlas, op.cit., hlm.122-125. Lihat juga: Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss,  Theories of  Human Communication, 9 th ed. Diterjemahkan Mohammad Yusuf Hamdan, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), hlm.115. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar