Jumat, 12 Oktober 2012

Hubungan Antar Agama Sebagai Komunikasi Antar Budaya


A. PENDAHULUAN
            

Tema yang akan didiskusikan adalah “Hubungan Antar Agama Sebagai Komunikasi Antar Budaya”, supaya pembahasan ini tidak menyimpang maka penulis akan membahas dari perspektif Islam. Agama secara leksikal memiliki makna yang beragam. Seperti pembalasan (ganjaran), ketaatan, penilaian, dan lain-lain. Dari beragam makna agama, sebagaimana yang terdapat pada kamus-kamus dan tafsir ayat-ayat al-Qur'an terkait makna agama, umumnya agama bermakna ketaatan dan ganjaran, dan terkadang bermakna pinjaman, hitungan dan hukum.
            Agama bermakna ketaatan dapat dijumpai pada ayat misalnya "laa ikraha fi al-din" (tiada paksaaan dalam beragama) (Qs. Baqarah [2]:256). Agama bermakna pembalasan dapat disaksikan pada ayat "malik yaum al-din" (penguasa pada hari pembalasan." (Qs. Al-Fatihah [1]:4). Secara teknikal agama menurut Raghib al Isfahani diadopsi dari syari’at. Dan sesuai dengan ungkapan Fadhil Miqdad agama adalah thariqat dan syariat; artinya jalan dan aturan. Kontrak-kontrak Ilahi ini menyeru kepada para pemeluknya untuk menjalankan aturan-aturan dan hukum-hukum yang telah disampaikan kepada Rasulullah Saw dan berada di sisinya. Demikianlah makna umum agama yaitu seluruh aturan Ilahi dan samawi yang disampaikan kepada masyarakat melalui para Nabi dan Rasul.
            Kebudayaan merupakan salah satu pahaman yang paling menyeluruh dan universal dalam ilmu-ilmu Sosial dimana terdapat ragam definisi yang diberikan tentangnya. Secara leksikal kebudayaan (culture) bermakna adab, ilmu, pengetahuan dan makrifat. Dalam terminologi ilmu-ilmu Sosial disebutkan bahwa kebudayaan artinya ilmu dan adab, tradisi dan kebiasaan, hal-hal yang diterima di setiap kaum dan bangsa, baik itu ilmu, kebiasaan, adab dan tradisi – yang diterima dan diamalkan oleh masing-masing anggota komunitas kaum tersebut. Dengan kata lain, kebudayaan adalah sekumpulan ilmu, pengetahuan, seni, pemikiran dan keyakinan, moral, aturan, adab dan kebiasaan.
            Terkait pembahasan utama kita di sini tentang hubungan antar Agama sebagai komunikasi antar Budaya, apakah terjalin hubungan antara agama dan kebudayaan? Apabila terjalin hubungan eksistensial di antara keduanya, Apakah agama dan kebudayaan itu merupakan hal yang satu atau agama merupakan bagian dari kebudayaan setiap kaum dan bangsa ?. Atau agama itu sendiri adalah pencetak kebudayaan ?, dengan memperhatikan pelbagai definisi yang dibeberkan terkait dengan kebudayaan, masalah ini merupakan masalah yang dibahas tak henti-hentinya dan terdapat perbedaan pendapat di dalamnya.
            Hubungan yang terjadi di antara berbagai suku bangsa tersebut tentu saja melalui suatu proses komunikasi. Jika proses komunikasi ditinjau dari segi komunikasi antarbudaya, maka bukanlah semata-mata terjadi proses tukar menukar barang seperti di pasar, tetapi terjadi suatu proses tukar menukar segi kebudayaan. Hal itu meliputi bahasa, Agama, sistem ilmu pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem organisasi, sosial, dan kesenian. Menurut Gerhard Malatzke komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang berbeda budaya.
Komunikasi antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh antropolog Edward Hall. Bidang ini sebenarnya bukan fenomena baru, komunikasi antarbudaya sudah ada sejak pertama kali orang-orang berbeda budaya saling bertemu dan berinteraksi. Jika komunikasi antar budaya ternyata meliputi Agama, apakah hubungan antar Agama juga menjadi wadah komunikasi antar budaya? Tentu hal ini perlu pembahasan yang lebih mendalam. Oleh karenanya dalam makalah ”Hubungan Antar Agama Sebagai Komunikasi Antar Budaya” ini, akan dibahas (1) hakikat agama; (2) agama sebagai kelompok etnik; (3) hubungan antaragama; (4) beberapa masalah dan pemecahan hubungan antaragama, (5) masa depan agama.

B. HAKIKAT AGAMA
Muhammad Natsir, dalam sebuah bukunya Islam dan Kristen di Indonesia mengatakan:
Disamping itu telah diakui pula oleh sarjana bahwa agama adalah hal yang disebut sebagai “problem of ultimare concern”, suatu problem yang mengenai kepentingan mutlak, yang berarti jika seseorang membicarakan soal agamanya, maka ia tak dapat tawar menawar, apabila berganti; agama bukan sebagai rumah atau pakaian yang kalau perlu diganti, akan tetapi sekali kita memeluk keyakinan, tak dapatlah keyakinan itu pisah dari seseorang.[1]
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh M Natsir, Abudin Nata, dalam bukunya Metodologi Studi Islam mengutip pendapat Mukti Ali mengatakan bahwa barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata agama. Pernyataan ini didasarkan pada tiga alasan. Pertama, bahwa pengalamana agama adalah soal bathini, subyektif, dan sangat individualis sifatnya. Kedua, barangkali tidak ada orang yang begitu semangat dan emosional daripada orang yang membicarakan agama. Karena itu, setiap pembahasan tentang arti agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata agama sulit didefinisikan. Ketiga, konsepsi tentang agama dipengaruhi  oleh tujuan dari orang yang memberikan definisi tersebut.[2]
Secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari berbagai sudut kebahasaan dan sudut istilah. Mengartikan agama dari sudut kebahasaan akan terasa lebih mudah daripada mengartikan agama dari sudut istilah karena pengertian agama dari sudut istilah sudah mengandung muatan subyektifitas dari orang yang mengartikannya. Sehingga tidaklah mengherankan jika muncul beberapa ahli yang tidak tertarik untuk mendefinisikan agama. Sampai sekarang pun perdebatan tentang definisi agama masih belum selesai. Hingga sebagian ahli sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mendefinisikan arti agama, karena pengalaman agama adalah subyektif, intern, dan individual, di mana setiap orang akan mengalami pengalaman yang berbeda dari orang lain.
Seringkali kita membaca dan mendengar pendapat para ahli yang mencoba mencari dan menerangkan arti agama baik dari segi etimologi maupun terminology. Salah satu pendapat yang populer bahwa agama berasal dari dua kata: a = tidak dan gama =  kacau. Menurut Endang Saifuddin Anshari, dugaan yang kuat bahwa teori ini berasal dari Fachroeddin Al Kahiri.[3] Hal ini dikemukakan oleh Fachroeddin pada bulan September 1937, dalam sebuah pidato radio di muka corong V.O.R.L (radio di Bandung) dengan judul “Islam Menoeroet Faham Filosofie”.[4] Teori ini kemudian seringkali dikutip dalam berbagai ceramah dan tulisan-tulisan. Padahal kita ketahui bahwa Islam yang dianggap sebagai nama sebuah agama, tidak hanya membentuk sebuah keteraturan kehidupan akan tetapi Islam merupakan rahmatan lil ‘alamin bagi alam semesta ini.
Sutan Mohammad Zain dalam Kamus Bahasa Indonesia menerangkan arti “agama” dari sudut terminologi bahwa segenap kepercayaan kepada Tuhan serta kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.[5] Sementara itu, dalam Ensiklopedia Indonesia kita akan mendapkan uraian tentang agama sebagai berikut:
Agama (umum), manusia mengakui dalam agama adanya Yang Suci; manusia itu insaf, bahwa ada suatu kekuasaan yang memungkinkan dan melebihi segala yang ada. Kekuasaan inilah yang dianggap sebagai asal atau Khaliq segala yang ada. Tentang kekuasaan ini bermacam-macam bayangan  yang terdapat pada manusia, demikian pula cara membayangkannya. Demikianlah Tuhan dianggap oleh manusia sebagai tenaga ghaib di seluruh dunia dan dalam unsur-unsurnya atau sebagai Khaliq rohani. Tenaga ghaib ini dapat menjelma a.l. dalam alam (animisme), dalam buku suci (Torat) atau dalam manusia (Kristus).[6]
Uraian tentang agama yang telah dikemukakan oleh para tokoh di atas, memandang agama sebagai satu bentuk atuaran-aturan yang harus dipatuhi oleh manusia dalam kehidupan mereka. Selain itu, bahwa dalam agama terdapat unsur kepercayaan terhadap kekuatan ghaib, yakni antara makhluk terhadap Khaliq.
Terkadang juga kita temukan sebuah pernyataan bahwa agama = religion (dalam bahasa Barat) = al Din (dalam bahasa Arab). Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang melandasi pernyataan yang telah ada itu? benarkah pernayataan tersebut memiliki kesamaan dalam subtansinya maupun bangunan kosepnya? Kalau di dalam kata agama/religion/din ditambahkan satu kata sifat –misal Islam, Kristen, Hindu atau Budha- dan kita anggap bahwa kata agama/religion/din memiliki makna yang sama maka orang akan dapat mengatakan bahwa semua agama itu sama. Deskontruksi dan reduksi yang terjadi terhadap makna agama pada era modern ini akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan umat Islam maupun umat beragama yang lain.
Endang Saifuddin mengutip pendapat Zainal Arifin Abbas, dalam bukun Perkembangan Fikiran terhadap Agama membahas tentang religion dan agama sebagaimana berikut;
Selain perkataan agama dalam bahasa Latin yaitu religion. Dalam bahasa-bahasa Barat sekarang biasa disebut Religion dan religious….. dalam bahasa Arab disebut Din dangan memanjangkan huruf ‘i’. Atau sempurnanya disebut al-Din….. Sesungguhnya demikian, ada perbedaan yang poko dan luas antara maksud-maksud agama pada kalimat ‘agama’ dalam bahasa Sansekerta dengan kalimat ‘religo’ bahasa Latin dan kalimat ‘el-Din’ dalam bahasa Arab….[7]
Dari pernyataan yang diungkapkan Abbas makna agama = religion (dalam bahasa Barat) = din (dalam bahasa Arab). Uraian Abbas tentang definisi agama, dengan menyamakan makna agama dengan religion dan din adalah tidak meyakinkan dan berlandaskan pada dasar yang kuat. Menurut hemat penulis bahwa makna dari din dengan religion serta agama tidaklah sama seperti apa yang telah dikemukakan oleh para tokoh tersebut. Adalah satu pendapat yang benar tentang definisi din diungkapkan oleh Muhammad Naquib Al-Attas kami uraikan untuk memperkuat kesimpulan penulis.
Muhammad Naquib Al Attas menjelaskan, dalam Islam, istilah din yang umumnya dipahami dengan istilah religion adalah tidak sama dengan konsep religion yang dipahami dan ditafsirkan dalam sejarah agama Barat. Islam sebagai agama harus dipahami dalam makna din, sebagimana dijelaskan dalam al-Qur’an dan bahasa Arab. Kata din dalam QS An Nisa ; 125 itu tidak lain dan tidak bukan hanya merujuk kepada Islam.[8] Tidak ada keraguan bahwa ada berbagai bentuk din lainnya. Tetapi menurut al Attas yang melakukan total submission kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah yang benar, dan din semacam itulah yang merupakan satu-satunya din yang diterima Tuhan. Sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya; Barang siapa mencari din selain Islam, maka tidak akan diterima din itu darinya. Dan di akhirat ia termasuk orang yang merugi. Juga firmanNya; Sesungguhnya ad-Din yang diridhai Allah hanyalah Islam.[9]
Penjelasan Al-Attas mengenai makna din dan Islam, memberikan gambaran yang jelas, bahwa din yang benar dan diakui Allah adalah Islam. Itulah din para Nabi yang disempurnakan oleh Nabi terakhir, Nabi Muhammad saw. Islam merupakan agama yang universal dan Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia (Q.S. 21 : 107 & 34 : 38).

C. AGAMA SEBAGAI KELOMPOK ETNIK
            Sitiap masyarakat, apalagi yang makin majemuk, selalu terbentuk kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok itu terbentuk karena para anggotanya mempunyai cita-cita yang didasarkan  pada nilai atau norma yang sama-sama mereka terima dan patuhi. Apabila kelompok itu sangat kokoh mempertahankan norma dan nilai hingga menutup kemungkinan orang atau pihak lain memasuki kelompok itu maka dapat timbul perasaan “in group feeling” yang cendrung eksklusif terhadap kelompok yang lain atau “out group feeling” kelompok seperti ini disebut kelompok etnik.
Akan halnya agama pun demikian. Manusia yang berkelompok berdasarkan keyakinan, kepercayaan, iman terhadap sesuatu yang bersifat sakral disebut kelompok Agama. Karena itu, Agama dapat dipandang sebagai suatu kelompok etnik. Secara histories dapat disaksikan bahwa Agama sebagai kelompok etnik itu mewakili suatu populasi tertentu yang kita kenal keberadaannya dalam suatu masyarakat.
Keberadaan kelompok Agama dapat dilihat berupa simbol dan tanda, materi, pesan-pesan verbal dan nonverbal, petunjuk berupa meteri dan immaterial, bahkan sikap dan cara berpikir yang sifatnya abstrak. Para pengikut suatu Agama kerapkali (bahkan dalam seluruh kehidupannya) menjadikan petunjuk-petunjuk tersebut sebagai bahan, pesan, serta pola yang mengatur interaksi, relasi dan komunikasi, baik dalam ritual keagamaan hingga ke komunikasi intra kelompok maupun antar kelompok Agama dan keagamaan.
Berdasarkan pandangan tersebut, maka studi-studi sosiologi tentang Agama dan kelompok keagamaan selalu menempatkan para pemeluknya dalam situasi dan kondisi sosial masyarakat yang melingkupinya. Misalnya memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan:
(1)     keberadaan para pemeluk suatu masyarakat majemuk. Sebagai contoh, akibat kemajemukan maka para pemeluk agama dapat tersusun ke dalam segmen-segmen atau komunitas khusus yang merupakan kesatuan sosiologis/antropologis. Segmen-segmen itu mempengaruhi hubungan intra Agama dan antar Agama dalam suatu masyarakat. Faktor ini menjadi penting karena kerapkali pengelompokkan Agama maupun kelompok keagamaan tersusun atas unsur-unsur kesamaan darah, bangsa dan ras bahasa, daerah atau wilayah.
(2)     Keberadaan para pemeluk yang dikaitkan dengan kesatuan “ideologi”. Sebagai contoh ada agama yang sangat terikat pada struktur Negara, paham kebangsaan, bahkan ideologi Negara.
(3)     Keberadaan para pemeluk yang dikaitkan dengan kesatuan “ interest” yang cenderung mengarah kepada pengelompokkan sosial dan politis. Contoh pada kaitan agama dengan kelompok yang terbentuk dengan azas ciri khas Agama (kelompok keagamaan).
(4)     Keberadaan para pemeluk yang dihubungkan dengan kesatuan pragmatis, yaitu kelompok agama ideal yang kehadiran nya dalam masyarakat tanpa memandang ideologi, politis dan lain-lain. Model kesatuan ini mengenyampingkan unsure-unsur SARA.
(5)     Keberadaan para pemeluk yang dihubungkan dengan kesatuan iman keagamaan, yaitu suatu kepercayaan bersama atas iman khusus yang membedakan dengan iman universal dari kelompok agama lain.
 Dapat disimpulkan bahwa setiap kelompok agama hadir dan diakui karena: (1) secara biologis para anggota kelompok mampu berkembang dan bertahan, mempunyai jumlah tertentu; (2) secara sosiologis diterima dalam suatu masyarakat karena kehadiran kelompok itu tidak membawa bibit disintegrasi; (3) mempunyai kesamaan nilai yang diimani dan secara sadar mempengaruhi anggota untuk selalu “bersama-sama” dan nilai itu juga diakui oleh anggota kelompok lain; (4) membentuk jaringan-jaringan komunikasi intrakelompok secara teratur; (5) mempunyai dan menentukan ciri kelompok yang berbeda dengan kelompok lain; dan (6) kadang-kadang mempunyai wilayah pengaruh dan kekuasaan.
Jadi apabila Agama disebut kelompok etnik, tentu akan terjadi perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal. Agar perbedaan tersebut tidak menimbulkan permasalahan, maka perlu adanya komunikasi yang disebut komunikasi antar budaya. Karena pada dasarnya komunikasi antarbudaya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa makna pesan verbal dan non verbal menurut budaya-budaya yang bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan, bagaimana cara mengkomunikasikannya, dan kapan mengkomunikasikannya. Dengan demikian maka akan terjalin hubungan yang baik antara kelompok etnik yang berbeda. 
Namun perlu digaris bawahi bahwa Islam sangat berbeda dengan Agama-agama lain seperti yang tertera diatas. Pemaknaan Agama sebagai kelompok etnik jelas-jelas tidak ditemukan dalam Islam. Karena jika disebut agama sebagai kelompok etnik, maka kita akan terjebak pada pemahaman bahwa Islam adalah hasil dari kebudayaan. Padahal Islam bukan hasil dari produk budaya maupun filsafat tertentu, melainkan hasil dari kebenaran wahyu yang absolute. Islam bukan hanya untuk golongan atau etnik tertentu melainkan untuk Rahmatan lil ’Alamin. Jadi bukan Agama yang termasuk bagian budaya ataupun etnik akan tetapi kebudayaan dan etnik adalah bagian dari Agama.[10]

D. HUBUNGAN ANTAR AGAMA         
            Berbicara tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme agama menjadi perbincangan utama. Pluralisme agama sendiri  dimaknai secara berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim, baik secara sosiologis, teologis maupun etis.
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
            Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti.[11] Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya.[12]  Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang Muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia  involved (terlibat) dengan Islam.[13] Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat.[14]
   Pengakuan pluralisme secara sosiologis ini juga dikemukakan oleh Mukti Ali. Mukti Ali secara sosial tidak mempersoalkan adanya pluralisme, dalam pengakuan-pengakuan sosial, tetapi ia sangat tegas dalam hal-hal teologis. Ia menegaskan bahwa  keyakinan terhadap hal-hal teologis tidak bisa dipakai hukum kompromistis. Oleh karena itu, dalam satu persoalan (objek) yang sama, masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, misalnya pandangan tentang al-Qur’an, Bibel, Nabi Muhammad, Yesus dan Mariam.
Islam adalah Agama yang sejak awal mengakui keberagaman. Konsep ”tidak ada paksaan dalam Agama” dan konsep  ”Bagimu Agamamu dan bagiku Agamaku” sudah secara tegas disebutkan dalam Al Qur’an. Oleh karena itu umat Islam dilarang keras memaksa non muslim untuk memeluk Islam, meskipun umat Islam diperintahkan mendakwahkan Islam. Bahkan, kaum Muslim diwajibkan menghormati pemeluk Agama lain. Seorang anak yang masuk Islam diwajibkan tetap menghormati dan berbuat baik terhadap orangtuanya yang belum memeluk Islam. Sejarah Islam membuktikan bagaimana tingginya sikap toleran kaum Muslim kepada pemeluk Agama lain. 
            Tetapi dalam konsepsi Islam, adalah mustahil mengakui bahwa semua paham (isme) atau Agama adalah benar dan merupakan sama-sama jalan yang menuju kepada Tuhan. Maka ada perbedaan mendasar antara menerima dan mengakui keberagaman Agama dengan mengakui kebenaran semua Agama. Yang pertama bisa dikatakan sebagai mengakui pluralitas Agama, sedangkan yang kedua mengakui pluralisme Agama. Islam menerima dan mengakui perbedaan dan keberagaman tapi jelas tidak mengakui bahwa semua Agama adalah sah dan sama-sama jalan menuju Tuhan yang satu.[15]
            Oleh sebab itu hubungan antar Agama di sini hanya pada tataran kehidupan sosial dan tidak sampai pada masalah-masalah teologis. Sehingga dalam pembahasan ini hubungan antar Agama juga sebagai komunikasi antar budaya, karena terdapat perbedaan antara Agama yang satu dengan Agama lain. Sebagaimana diungkapkan oleh DeVito (1997) bentuk-bentuk komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi antara kelompok agama yang berbeda. Misalnya: antara orang Islam dengan orang Yahudi. Jadi Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, agama, kelompok ras, atau kelompok bahasa, komunikasi itu disebut komunikasi antarbudaya.

E. BEBERAPA MASALAH DAN PEMECAHAN HUBUNGAN ANTARAGAMA
Di kalangan umat beragama ada segudang persoalan. Persoalan-persoalan itu ada yang sudah terlesesaikan, ada yang masih dalam proses penyelesaian, dan ada juga yang belum terselesaikan.  Beberapa persoalan dalam hubungan antar umat beragama terasa masih berlanjut sampai masa sekarang dan mungkin sampai masa yang akan datang. Beberapa kasus yang menimpa umat beragama, seperti di Poso, adalah satu contoh yang masih hangat di telinga.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian agama (studi agama) terhadap persoalan-persoalan yang selama ini terabaikan dalam konteks relasi antar umat beragama. Kajian-kajian itu adalah usaha untuk melakukan kritisisme situasi sejarah yang seringkali menunjukkan kesalahpahaman antar umat beragama. Melalui kajian-kajian itu dimungkinkan tidak hanya dapat menemukan fakta-fakta tetapi juga meneliti fakta-fakta  yang berarti pada masa lalu atau berarti pada masa sekarang.
Hendaknya  studi agama-agama tidak hanya berkonsentrasi pada fakta-fakta agama tetapi juga pada hal-hal yang telah diinterpretasikan oleh pemeluk agama dalam semua varietasnya. Di Indonesia, perkembangan studi Agama di beberapa pendidikan tinggi dan lembaga-lembaga lain menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan, sehingga pencarian titik temu antar umat beragama bisa lebih banyak alternatif. Seperti yang dikemukakan oleh M. Amin Abdullah, seorang guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bahwa pintu masuk titik temu agama-agama bisa melalui etika. Ia mengemukakan:
“Al-Qur’an hanya mengajak kepada seluruh penganut agama-agama lain dan penganut agama Islam sendiri untuk mencari “titik temu” (kalimatun sawa’) di luar aspek teologis yang memang sudah berbeda sejak semula. Pencarian titik temu lewat perjumpaan dan dialog yang konstruktif berkesinambungan merupakan tugas kemanusiaan yang perenial, abadi, tanpa henti-hentinya. Pencarian titik temu antar umat beragama dapat dimungkinkan lewat berbagai cara, salah satunya lewat pintu masuk etika, karena lewat pintu masuk etika manusia beragama secara universal menemui tantangan-tantangan kemanusiaan yang sama. Lewat pintu masuk etika ini – untuk tidak mengatakan lewat pintu teologis—manusia beragama merasa mempunyai puncak-puncak keprihatinan yang sama. Untuk era sekarang, tantangan scientisme dengan berbagai implikasinya, tantangan lingkungan hidup, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan (human dignity), menghormati hak asasi manusia adalah merupakan agenda bersama umat manusia tanpa pandang “bulu” keagamaannya. Lewat pintu etika ini, seluruh penganut agama-agama dapat tersentuh “relijiusitas”nya, untuk tidak hanya menonjolkan “having a religion”nya. Lewat pintu etika, dimensi spiritualitas keberagamaan lebih terasa promising and challenging dan bukannya hanya terfokus pada dimensi formalitas lahiriyah kelembagaan agama.”[16]

Keperluan yang urgen untuk melakukan studi agama dalam komunikasi antar budaya adalah pada tiga aspek. Pertama,  mengkaji sejarah relasi-relasi antar umat beragama. Dialog antar umat beragama, sebagaimana yang pernah terjadi dalam rentang sejarah, harus dilihat sebagai momen yang istimewa dalam sejarah relasi umat beragama dan interaksi pada umumnya. Kedua, mengkaji relasi-relasi yang sedang terjadi pada masa sekarang; misalnya tentang  perkembangan-perkembangan pada hari-hari ini dan implikasi-implikasinya bagi relasi mereka. Ketiga, mengkaji akar-akar konflik antara komunitas-komunitas beragama dan mencari solusi  yang tepat untuk memecahkan konflik semacam itu. Dalam studi semacam itu tentu saja diperlukan kontribusi  ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora untuk menghindari konflik-konflik di  masa depan.
Adanya perbedaan agama-agama itu bukan berarti tidak ada “titik temu” yang dapat melahirkan mutual understanding di antara mereka. Titik temu itu bisa berupa kesatuan yang bersifat social, dan etis (moral). Selain itu, penulis menekankan pentingnya moralitas dan etika dalam mencari jalan keluar untuk mengembangkan dialog di masa depan. Dalam hal ini umat beragama, khususnya umat Islam, dapat belajar dari pengalaman Nabi Muhammad ketika mengimplementasikan pengalaman toleransi, kerukunan antar umat beragama. Namun tetap menjadi catatan penting bagi umat Islam bahwa tidak ada toleransi dalam hubungan teologis, karena sekali lagi Islam tidak sama dengan agama-agama lain (non Islam).
Oleh karena itu kemajemukan agama tidak menghalangi untuk hidup bersama, berdampingan secara damai dan aman. Bahkan, kemajemukan agama tidak menghalangi umat beragama untuk membangun suatu  negara yang bisa mengayomi dan menghargai keberadaan umat agama lain. Adanya saling pengertian dan pemahaman yang dalam akan keberadaan masing-masing, menjadi modal dasar yang sangat menentukan. Sebagaimana pengalaman Nabi dalam membangun Madinah yang mengandung dimensi moral dan etis. Di antara dimensi moral dan etis agama-agama adalah saling menghormati dan menghargai pemeluk agama lain. Jika masing-masing pemeluk agama memegang moralitas dan etikanya masing-masing, maka kerukunan, perdamaian dan persaudaran bisa terwujud.

F. KESIMPULAN
            Komunikasi Antar Budaya sangat penting untuk dipelajari dan diperdalam karena di dalam manusia itu sendiri terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan Agama yang rentan sekali terjadi konflik. Apabila salah satu suku tidak memahami apa yang dikatakan oleh suku lain, maka akan terjadi perselisihan, begitu juga dengan perbedaan agama dan ras. Dengan memahami Komunikasi Antar Budaya tentu peristiwa seperti di atas tidak akan terjadi karena kita saling mengerti dan memahami apa yang dimaksud oleh suku, ras dan Agama lain.
            Secara khusus fungsi komunikasi antarbudaya adalah untuk mengurangi ketidakpastian. Karena, ketika kita memasuki wilayah orang lain kita dihadapkan dengan orang-orang yang sedikit banyak berbeda dengan kita dalam berbagai aspek (sosial, budaya, ekonomi, status,dll). Pada waktu itu pula kita dihadapkan dengan ketidakpastian dan ambiguitas dalam komunikasi. Sehingga komunikasi Antar Budaya dirasa perlu memasuki lingkup Hubungan Antar Agama dengan segala perbedaan yang terdapat di dalamnya.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M Amin, “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an. No. 4 Vol. IV. Th. 1993.
Al Kahiri, Fachroeddin, Islam Menoeroet Faham Filosofie, Choetbah di radioV.O.R.L Bandung, Kemajoean Islam Djokjakarta, 1938.
An Naquib Al Attas, syed, Prolegomena.
Makalah Adian Husaini, dengan tema “Pluralisme Agama Musuh-Musuh Agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam Terhadap pemahaman Pluralisme Agama)  2010.
Makalah Seminar Nasional “Pemikiran Islam Muhammadiyah; Respon terhadap Fenomena Liberalisme Islam” Tanggal 1-2 Maret 2004 di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Makalah Zainul Abas (Dosen STAIN  Surakarta).
Muhammad Zain, Sutan, Kamus Modern Bahasa Indonesia,  Jakarta: Penerbit Grafika, tanpa tahun.
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo, 1998.
Natsir, Muhammad, Islam dan Kristen di Indonesia, dihimpun oleh Saifuddin Anshari, Bandung: 1969
Rasjidi, M,  Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968 Tahun ke VIII.
Saifuddin Anshari, Endang, Ilmu, Filsafat, & Agama, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979.


[1] Muhammad Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, dihimpun oleh Saifuddin Anshari, Bandung: 1969, h.227.
[2] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1998), hal.8. Pernyataan ini, diungkapkan oleh Mukti Ali dalam sebuah ceramahnya berjudul “Agama, Universitas, dan Pembangunan” di IKIP Bandung pada tanggal 4 Desember 1971.
[3] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, & Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979), h. 120
[4] Lihat dalam Fachroeddin Al Kahiri, Islam Menoeroet Faham Filosofie, Choetbah di radioV.O.R.L Bandung, Kemajoean Islam Djokjakarta, 1938, h. 6 Ketika berbicara tentang “Faham dan Arti Agama”  ia mengatakan:
“Sepanjang hemat kita adalah perkataan agama itu majmu’ bahasa Sangsekerta, yang terdiri dari dua perkataan, yang pertama (a) dan kedua gama. A, artinya dalam bahasa Sangsekerta: tidak, gama, artinya kocar-kacir, berantakan, yang sama artinya dengan perkataan Griek: chaos. Jadi arti kata agama adalah tidak kocar-kacir, atau tidak berantakan. Lebih jelas lagi, kata agama itu ialah teratur, beres,. Jadi yang dimaksud di sini adalah suatu peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun mengenai sesuatu yang ghaib, ataupun yang mengenai budi pekerti, pergaulan hidup bersama dan lainnya.”
[5] Endang, hal 12, dapat dilihat dalam Sutan Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia,  Penerbit Grafika, Jakarta, tanpa tahun, hal. 17
[6] Ibid,- dapat dilihat dalam T.G.S Mulia dan K.A.H Hiddung, Ensiklopedia Indonesia, A-E, N.V. Penerbitan W. Van Hoeve Bandung. ‘s-Gravenhage, tanpa tahun, h.31
[7] Endang, hal.122
[8]ومن احسن دينا ممن أسلم وجهه لله و هو محسن واتبع ملة ابراهيم حنيفا, واتخذ الله ابراهيم خليلا.
Artinya; ”Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”
[9] Disampaikan pada seminar nasional “Pemikiran Islam Muhammadiyah; Respon terhadap Fenomena Liberalisme Islam” Tanggal 1-2 Maret 2004 di Universitas Muhammadiyah Surakarta, lihat dalam Al-Attas, Prolegomena, hal. 41
[10] Syed An Naquib Al Attas dalam bukunya Prolegomena ” Islam is not a form of culture, and it’s system of thought projecting it’s vision of  reality and truth and the system of value derived from it, are not marely derived from culture and phylosopical elements aided by science but one whose original source is revelation
[11] Argumen ini dikemukakan oleh Prof. Rasjidi dalam satu tulisannya yang disampaikan dalam  Pidato Sambutan Musyawarah Antar Agama, 30 November 1967 di Jakarta. Penulis mendapati tulisan ini dari dua sumber, yakni di dalam Makalah Zainul Abas (Dosen STAIN  Surakarta).
[12]M. Rasjidi, Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968 Tahun ke VIII, hlm.35.
[13]Ibid.
[14]Ibid.
[15]Penulis mendapatkan argumentasi ini dari makalah Adian Husaini, dengan tema “Pluralisme Agama Musuh-Musuh Agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam Terhadap pemahaman Pluralisme Agama)  2010, halaman. 24-25.
[16]M Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an. No. 4 Vol. IV. Th. 1993, hlm. 21.

By: AFRI SANTOSO, S.KOM.I 

4 komentar:

  1. SAYA SANGAT TERTARIK DENGAN TULISAN INI, IZINKAN SAYA MENGUTIP BAGIAN-BAGIAN PENTINGNYA, TENTU SESUAI KAIDAH AKADEMIK YANG ETIS, TERIMAKASIH

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih, solatun, hmsdulahsayuti@gmail.com

      Hapus
  2. izin mmengambil makalah agar di jadikan referensi
    terimakasih

    BalasHapus